Mathius Fakhiri, seorang perwira tinggi asal Papua, telah berjuang keras untuk meningkatkan keterwakilan Orang Asli Papua (OAP) di institusi kepolisian. Dalam beberapa tahun terakhir, ia berhasil mengirim ribuan pemuda Papua untuk menjadi polisi, sebuah pencapaian yang disambut baik oleh banyak pihak sebagai bentuk integrasi dan pemberdayaan. Namun, di tengah prestasi ini, Fakhiri justru menghadapi tuduhan berat dari sekelompok pihak yang menuduhnya sebagai pengkhianat, bahkan menyamakannya dengan Yudas Iskariot. Tuduhan tersebut muncul di tengah suasana politik yang semakin panas, dengan berbagai kepentingan berusaha memanfaatkan momentum ini.
Bagi Fakhiri, langkahnya dalam mengirim banyak anak Papua menjadi polisi adalah bentuk pengabdian dan upaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di tanah kelahirannya. Ia percaya bahwa dengan lebih banyaknya perwakilan OAP di kepolisian, stabilitas dan kesejahteraan di Papua dapat lebih terjamin. Namun, bagi sekelompok orang, terutama yang memiliki agenda politik terselubung, keberhasilan Fakhiri dianggap sebagai ancaman. Mereka menuduh bahwa Fakhiri “mengkhianati” perjuangan orang Papua demi kepentingan pusat, sebuah tuduhan yang dianggap tidak berdasar oleh banyak pihak yang mengenalnya.
Konflik ini mencerminkan betapa kompleksnya dinamika politik di Papua, di mana setiap langkah besar yang diambil selalu disertai dengan risiko politik yang tinggi. Tuduhan terhadap Fakhiri diyakini sebagai upaya dari kelompok-kelompok tertentu yang ingin meraih keuntungan politik menjelang berbagai kontestasi di wilayah tersebut. Meskipun demikian, Fakhiri tetap teguh pada komitmennya. Baginya, tuduhan itu adalah bagian dari risiko perjuangan untuk membawa perubahan positif bagi tanah Papua.
Dukungan terhadap Fakhiri juga datang dari berbagai kalangan, termasuk para pemuda yang telah berhasil ia kirim untuk menjadi polisi. Mereka menilai bahwa Mathius Fakhiri adalah figur yang mampu menginspirasi generasi muda Papua untuk berperan aktif dalam membangun daerahnya. Di sisi lain, mereka yang menuduhnya merasa bahwa keberadaan ribuan polisi asal Papua dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak luar untuk mengontrol situasi politik di Papua, sebuah anggapan yang sangat dipolitisasi.
Narasi pengkhianatan yang dilontarkan terhadap Fakhiri menunjukkan betapa dinamisnya politik di Papua dan bagaimana setiap individu berpengaruh dapat dengan cepat menjadi target serangan politik. Meski demikian, banyak yang berharap agar Fakhiri tetap fokus pada misinya dan tidak terjebak dalam permainan politik yang berusaha menjatuhkannya. Tuduhan ini juga memperlihatkan bagaimana keberhasilan seseorang dalam memajukan daerahnya sering kali ditentang oleh mereka yang merasa terancam oleh perubahan. Dalam situasi ini, Mathius Fakhiri berhadapan tidak hanya dengan lawan-lawan politik, tetapi juga dengan tantangan untuk menjaga integritas dan kepercayaan yang telah ia bangun di masyarakat Papua.