RAKYAT Indonesia akan memilih presiden tepat di peringatan hari kasih sayang, 14 Februari 2024. Tiga calon presiden dan calon wakil presiden bersaing membujuk rakyat agar memilihnya menjadi pemimpin negara selama lima tahun ke depan (2024-2029). Pada saat yang sama, tantangan situasi keamanan dan ketahanan nasional akibat terorisme juga sedang meningkat. Global Terrorism Index (GTI) 2023, yang dipublikasikan Vision of Humanity mengatakan ada kenaikan 26% tingkat fatalitas kematian akibat serangan teroris.
Sementara skor indeks Indonesia masih belum cukup banyak perubahan dari 2 tahun sebelumnya, jika melihat Indeks Risiko Terorisme dan Indeks Potensi Radikalisme yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Bahkan yang cukup memerlukan perhatian dari laporan GTI adalah bahwa terorisme tumbuh subur di negara-negara dengan ekologi yang buruk dan guncangan yang disebabkan oleh iklim. Indonesia masih menghadapi tantangan terorisme yang tidak bisa diabaikan. Jika mencermati visi dan misi pemberantasan terorisme yang ditawarkan oleh ketiga pasangan calon presiden, kita akan melihat masing-masing memiliki tingkat perhatian berbeda. Ada pasangan menunjukkan tujuan yang jelas dan tegas untuk lima tahun mendatang. Ada juga yang menawarkan strategi tertentu untuk memerangi terorisme.
Namun ada yang menyederhanakan terorisme sebagai sebagai salah satu jenis kejahatan ‘biasa’ semata. Tidak ada yang salah dari visi misi yang disampaikan oleh tiap pasangan calon. Namun bagi masyarakat Indonesia, visi dan misi memperlihatkan bagaimana tiap pasangan calon presiden-wakil presiden berkomitmen menempatkan isu terorisme ke dalam isu strategis Indonesia lima tahun ke depan. Terorisme bukan problem baru bagi Indonesia, bahkan telah ada sejak masa presiden pertama, Ir Soekarno.
Terorisme juga menjadi perhatian pemerintahan era Soeharto bahkan hingga saat ini. Hal itu sedikitnya terlihat dari lahirnya regulasi dengan rumusan kebijakan yang cukup beragam. Mulai dari kebijakan yang dinilai mengesampingkan HAM seperti UU Subversif di masa Orde Baru, hingga kebijakan yang mulai menghargai penghormatan HAM seperti UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
Dalam pengaturan terbaru tentang terorisme, UU No. 5 Tahun 2018, spirit yang kental dirasakan berkenaan pencegahan serangan teror dan pencegahan penyebaran ideologi radikal teror. Lalu apakah pendekatan regulasi dirasakan cukup untuk mengatasi masalah terorisme? Tentu tidak. Dalam catatan pribadi saya misalnya, kendati Indonesia telah memiliki berbagai peraturan perundang-undangan terkait terorisme, masih saja terdapat celah problematika pemberantasan terorisme.
Setidaknya ada dua kluster besar problem terorisme yang dihadapi Indonesia saat ini. Pertama, berkenaan dengan pola penanganan terorisme oleh instrumen negara. Kedua, terkait dengan sisi eksternal, yakni kemampuan memitigasi evolusi kelompok teror dan pola pergerakannya. Dua hal itu setidaknya menjadi poin penting dalam melihat bagaimana sebuah bangsa seperti Indonesia mencari rumusan penyelesaian terorisme di masa mendatang. Klaster instrumen negara Dalam klaster pertama, instrumen negara menghadapi tantangan ideologi, dan bermacam faktor dan motivasi yang menjadi penyebab individu atau kelompok melakukan aksi terorisme.
Dalam banyak kasus ideologilah yang menjadi penyebab utama aksi terorisme. Lalu bagaimana instrumen negara menghadapi tantangan ideologi yang bertebaran di lini media sosial; promosi ide intoleran, radikal-teror, dan ekstrem. Hal ini perlu dijawab oleh setiap pasangan calon pemimpin nasional ke depan. Di dalam klaster pertama ini, instrumen negara menghadapi tantangan berkembangnya media sosial yang difungsikan oleh kelompok teror sebagai katalisator gerakan terorisme. Ini seringkali digunakan untuk berbagai tujuan, seperti pendanaan, perekrutan, konsolidasi, dan tentu propaganda.
Bahkan saat ini, kelompok teroris masih bisa menggunakan platform media sosial tertentu tanpa negara dapat menghalaunya. Jangan lupa bahwa sebagian besar pelaku teror yang diklasifikasikan berdasarkan kriteria aktor tunggal, memiliki hubungan dengan cara mereka berperilaku di media sosial. Persebaran ideologi dengan katalisator media sosial ternyata bukan hanya melahirkan pelaku teror domestik yang berasal dari dalam negeri semata.
Media sosial dapat menjadi katalisator terorisme juga dari pelaku teror lintas batas negara (cross border). Konflik Suriah beberapa tahun lalu misalnya, menyisahkan problematika WNI yang tinggal di kamp pengungsian di Suriah. Lagi-lagi apa strategi komprehensif capres-cawapres melihat isu WNI di Suriah? Problem mengapa WNI dapat melakukan pergerakan lintas batas negara, salah satunya karena pendanaan terorisme. Benar bahwa Indonesia telah menjadi bagian dari keanggotaan penuh Financial Action Task Force (FATF) yang memerangi pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Hal itu menjadi salah satu indikator bahwa Indonesia telah memiliki upaya pemberantasan pendanaan terorisme. Komitmen ini ditegaskan juga di dalam UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Pendanaan Terorisme.
Namun demikian aturan ini masih belum memadai. Saya mencatat bahwa masih ada sejumlah tantangan dalam memerangi pendanaan terorisme. Sebut saja misalnya aturan pembawaan uang tunai dari luar negeri, dan regulasi tentang pengumpulan uang dan barang. Selain itu, ada juga motif pengumpulan donasi melalui non profit organization, dan pendanaan terorisme melalui financial technology, hingga propaganda kemanusiaan setiap kali konflik di berbagai belahan dunia terjadi. Problem yang tak kalah serius dari klaster ini adalah program deradikalisasi oleh instrumen negara.
Program untuk menghilangkan dan mengurangi pemahaman radikal-teror yang hinggap di setiap pelaku teror dan kelompok rentan terpapar. Sebagai contoh peristiwa Desember 2022, serangan teror oleh Agus Sujatno alias Agus Muslim, yang belakangan diketahui telah menjalani program deradikalisasi. Lalu program deradikalisasi seperti apa yang dapat dikembangkan ke depan oleh para capres, sehingga tidak ada lagi pelaku melanggengkan karir kriminalitasnya? Serangkaian peraturan perundangan yang berkaitan dengan respons terhadap masalah terorisme dan penanganannya setidaknya dapat memberikan panduan yang nyata untuk menilai kondisi saat ini.
Kita memang melihat ada penguatan di beberapa bagian instrumen negara, namun penguatan tersebut masih menyisahkan masalah sinergisitas. Dalam hal memerangi pendanaan terorisme kita melihat ada sinergitas antarlembaga negara. Namun sinergisitas itu menjadi samar ketika masuk program deradikalisasi, terlebih lagi dalam upaya pencegahan terorisme secara komprehensif yang dilakukan berbagai lembaga negara Ada satu terobosan yang dibuat Presiden Jokowi pada 2021 yaitu, Perpres No. 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme berbasis Kekerasan yang Mengarah Pada Terorisme Tahun 2020-2024. Namun hingga saat ini saya nilai belum cukup mampu menjawab berbagai tantangan terkait penanganan terorisme, khususnya terkait pencegahan.
Belum lagi tantangan pemahaman birokrasi terhadap aspek ekstremisme, bagaimana cara mencegah serta menanggulanginya, apalagi terkait pendanaannya. Respons kelembagaan birokrasi negara terhadap terorisme juga masih menjadi tantangan kita ke depan. Kita paham bahwa penanganan terorisme tidak bisa disandarkan pada negara semata. Namun menjadi penting bagaimana pemimpin nasional ke depan mengorkestrasi lembaga-lembaga negara dalam penanganan dan pencegahan terorisme. Hingga saat ini, belum ada lembaga negara yang mampu mengkoordinasikan dinamika hubungan antarlembaga negara. Meskipun Indonesia memiliki Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), saya belum melihat perubahan struktur birokrasi BNPT setelah perubahan UU No. 5 tahun 2018. Bahkan struktur saat ini masih terlihat lebih mengarah pada struktur yang diamanatkan oleh peraturan yang lebih rendah, yaitu Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Terorisme.
Perkembangan organisasi teror Rumitnya penanganan terorisme di Indonesia, juga disebabkan oleh berkembangnya fenomena organisasi terorisme yang terkait dengan jaringan dari luar negeri yang bertumbuh di Indonesia. Organisasi ekstrem di Indonesia terus berevolusi. Evolusi tersebut setidaknya mengikuti bagaimana postur negara dalam penanganan terorisme. Saat Indonesia sangat keras di masa Orde Baru terhadap kelompok-kelompok NII, ada aturan UU Subversif yang digunakan. Namun kemudian gerakan ini bergerak di bawah tanah dan bermigrasi ke negara tetangga dan terlibat konflik di Afganistan. Kemudian berdirilah satu organisasi bernama Al Jamaah Al Islamiyah. Rejim berganti.
Kelompok yang tadinya bermigrasi kembali pulang kampung dan aksi teror pun terjadi, Bom Kedutaan Filipina dan Bom Gereja, dilanjutkan dengan Bom Bali I. Pada titik ini, negara merespons dengan membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Terorisme, mengingat saat itu UU Subversif telah dicabut. Pada tahun berikutnya Perppu berganti menjadi UU No. 15 Tahun 2003. Dari pergulatan yang sama, pada 2008, akhirnya pengadilan Jakarta Selatan menetapkan JI sebagai entitas korporasi terlarang teror. Namun demikian UU No. 15 tahun 2003, masih dinilai kurang muatan dalam pencegahan aksi terorisme, maka lahir UU No. 5 Tahun 2018, yang memiliki penekanan preventif. Organisasi teror tidak tinggal diam dengan perubahan peraturan yang dihasilkan Indonesia. Setidaknya ada perubahan strategi yang dilakukan oleh arus besar kelompok teror yakni JI.
JI saat ini mengubah haluan organisasi, setidaknya ini dapat dilihat dari Pedoman Umum Perjuangan Jamaah Islamiyah (PUPJI) dan Stratagi Tamkin Jamaah Islamiyah (Strata JI). Tidak heran kemudiaan terjadi pergeseran pola. Sebelum 2010, marak serangan teror yang dimotori oleh JI, dan berganti dengan strategi lain setelah 2010. Banyak penangkapan anggota JI setelah 2010, namun itu terkait dengan perencanaan, pendanaan terorisme, pelatihan teror.
Bukan hanya itu saja, pola penegakan hukum yang memperkecil peluang kelompok dan individu melakukan aksi terorisme. Pilihan strategi yang digunakan adalah pergerakan kelompok kecil dan pergerakan aktor tunggal, yang terbukti dapat efektif memberikan pesan simbolik serangan teror kepada negara. Hal ini terlihat dalam kasus Agus Muslim di Polsek Astana Anyar, kasus ZA di Mabes Polri dan SE di Istana Presiden. Perubahan dan penyesuaian diri organisasi teror ini pun terus berkembang di tengah situasi yang sosial yang makin terbuka. Karena itu, tidak heran juga jika beberapa waktu lalu ada penangkapan anggota JI di organisasi masyarakat, perusahaan negara, dan bahkan di anggota aparatur sipil negara. Bahkan JI berhasil melakukan pendanaan organisasi melalui unit usaha legal seperti dalam kasus Parawijayanto. Tentunya dengan dinamika yang terjadi, JI setidaknya telah menyiapkan exit strategy, sebagaimana kelompok ini telah lakukan pascapenetapan pengadilan Jaksel tahun 2008. Saat itu hingga 2019 Para Wijayanto berstatus Amir Mas’ul.
Saat ini tentu telah ada pimpinan baru JI. Mustahil kelompok dengan doktrin kuat tidak memiliki pemimpin. Mungkin hanya menunggu waktu saja terkuak ke publik. JI memang menjadi arus utama kelompok teror di Indonesia, namun tidak bisa dilupakan keberadaan kelompok lain seperti IS dengan berbagai variannya seperti Jamaah Anshor Daulah. Tentunya penetapan Negara Islam Indonesia (NII), yang masuk sebagai daftar terduga teroris dan organisasi teror (DTTOT) akan berdampak pada pola pergerakan organisasi ini ke depan. Artinya, Indonesia akan dihadapkan pada beragamnya varian dan fragmentasi kelompok terorisme. Bagaimana para capres menyiapkan Indonesia dengan strategi jitu menangani metamorfosis organisasi teror yang demikian, tentu menjadi pertanyaan kita bersama. Respons kebijakan negara terhadap pencegahan dan penanganan terorisme perlu dilakukan dengan tepat dan terukur.
Kemampuan mengenali dua kluster besar dalam penanganan terorisme mutlak diperlukan. Indonesia memang telah menjadi contoh dan laboratorium penanganan terorisme dunia. Tapi jangan dilupakan setiap kali muncul persoalan dan tawaran solusi penanganan terorisme (2001 dan 2018), political will pemimpinlah yang menjadi kunci utama. Semoga isu terorisme ini tetap menjadi perhatian pemimpin ke depan dan pemilih disuguhkan dengan program yang jelas dan terukur tentang penanganan radikalisme, ekstremisme dan terorisme.
*)Muhamad Syauqillah, Ketua Program Studi Kajian Terorisme SKSG UI, Wakil Ketua Lakpesdam PBNU