Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kembali mengingatkan akan bahaya laten kelompok NII yang masih aktif melakukan kegiatan radikalisme dan terorisme di Indonesia, termasuk di Provinsi Lampung.
Hal ini disampaikan dalam kegiatan Penguatan Kapasitas dan Kompetensi Personil TNI, Polri dan Instansi Terkait dalam Mendukung Penanggulangan Terorisme yang digelar di Bandar Lampung, Rabu (23/10/2024).
Hadir dalam kegiatan ini Kapolda Lampung beserta jajaran pejabat utama, Kepala Bakesbangpol Provinsi Lampung, Danrem Garuda Hitam, Danlanal, Kabinda Lampung dan MUI Lampung.
Direktur Pembinaan Kemampuan pada Deputi Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT, Brigjen Pol. Wawan Ridwan, saat membuka acara mengatakan, kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka meningkatkan kesiapsiagaan dan koordinasi antar pemangku kepentingan dalam penanggulangan terorisme di Provinsi Lampung.
Dikatakannya berdasarkan laporan Global Terorism Index 2023, Indonesia berada diurutan ke-24 dari 163 negara, jika mendekati angka terkecil berarti dampak resiko terorisme lebih besar.
BNPT juga menghadirkan Pendiri NII Crisis Center yang juga mantan aktifis gerakan NII yaitu Ken Setiawan untuk memaparkan perkembangan jaringan paham radikalisme dan terorisme di Provinsi Lampung.
Menurut Ken, secara historis, NII merupakan kelompok pemberontak yang mempolitisasi agama untuk kepentingan politik kekuasaan. Gerakan yang dimotori oleh Kartosuwiryo memiliki impian menegakkan negara Islam.
Gerakan perlawanan terhadap negara yang baru merdeka dimulai sejak tahun 1949 yang mencapai puncaknya pada tahun 1962. Secara organisasi, NII dilumpuhkan, tetapi secara ideologi terus bergentayangan membentuk faksi-faksi baru, termasuk Lampung menjadi salah satu basis perekrutan dan pelatihan.
Secara ideologi, gerakan NII tetap hidup dan mengilhami beberapa aktivis dan anggotanya untuk melompat ke arah yang lebih ekstrem dalam gerakan dan organisasi teroris seperti Al-Qaeda dan ISIS. Tidak salah jika dikatakan bahwa ibu kandung terorisme di Indonesia adalah NII. Tambah Ken.
Jamaah Islamiyah yang telah tercantum dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris (DTTOT) merupakan anak turunan dari NII yang didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir. Lahirnya JI merupakan ketidakpuasaan terhadap gerakan NII yang hanya bersifat lokal. JI membuka peluang untuk berjejaring secara gerakan yang lebih luas. JI kemudian berafiliasi secara global dengan al-Qaeda memainkan peran cukup penting dalam rentetan aksi teror di Indonesia di awal tahun 2000an.
JI yang kemudian menjadi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) terpecah dan berdiaspora dengan membentuk jaringan teror di Indonesia seperti Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Mujahidin Indonesia Barat (MIB), Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Khilafah (JAK).
Pada Maret 2022 Densus 88 AT Polri menangkap 16 anggota NII di Sumatera Barat. Pada 16 Desember yang lalu 3 anggota NII juga ditangkap di Banten. Sepanjang tahun 2023, Densus telah mengamankan 142 tersangka terorisme dan 5 di antaranya adalah anggota jaringan NII.
Jika dibandingkan tahun 2022, ada 247 yang diamankan dengan 28 orang adalah anggota NII. Melihat sebaran itu, NII sejatinya bukan hanya induk, tetapi juga masih eksis membangun jaringan, penguatan kaderisasi, pendanaan dan pelatihan untuk memperkuat organisasinya seperti organisasi teror lainnya.
Bagi NII, doktrin yang diterapkan bahwa NKRI telah lama menjajah NII. Karena itulah, membutuhkan gerakan dan kader untuk melawan dan merubah ideologi dan sistem negara ini. Proses pererkutan dan kaderisasi NII tidak hanya menyasar orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Kabar yang pernah menghebohkan, misalnya, tahun 2021 sebanyak 59 anak dibaiat oleh NII yang digelar di sebuah masjid di Garut.
Di Sumbar menurut data kepolisian ada sekitar 1.257 anggota NII dan 400 orang merupakan anggota aktif. Dari jumlah itu 77 orang anak-anak di bawah usia 17 tahun yang dicuci otak dan berbaiat kepada NII.
NII adalah sel tidur terorisme yang terus bergerak aktif di bawah tanah dengan menyiapkan amunisi gerakan yang besar pada waktunya. Dalam perjalanannya, memang masih ada yang konsisten dalam gerakan NII, tetapi juga ada yang tidak puas dengan melompat dalam jaringan teror yang lebih luas. “Namun, secara akar pemikiran, NII merupakan ideologi yang memberikan landasan kuat bagi gerakan teror di Indonesia,” tutup Ken.