Perubahan pada Pasal 56 dan Pasal 59 Undang-Undang Cipta Kerja dinilai telah memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi pekerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWT).
Narasi perpanjangan atau pembaharuan kontrak kerja banyak disalahgunakan sehingga tidak memberi kejelasan kontrak pekerja.
Hal itu disampaikan Sahat Sinurat selaku Ahli yang dihadirkan Pemerintah/Presiden dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja). Sidang ini digelar pada Senin (26/2) di Ruang Sidang Pleno MK.
Sahat menjelaskan, di UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diperbolehkannya perpanjangan PKWT hingga dua tahun atau melakukan pembaruan PKWT setelah masa tenggang waktu 30 hari. Dalam praktiknya, kata Sahat, perpanjangan dan pembaruan sering dianggap sama.
Sehingga ada kecenderungan pekerja dan pengusaha membuat adendum PKWT untuk mengatasi perpanjangan, meskipun pembaruan mensyaratkan masa tenggang waktu 30 hari. Sahat menilai, dalam kondisi itu terkadang pekerja tetap bekerja tanpa ikatan hubungan kerja.
“Dalam praktiknya adalah PKWT awalnya dibuat satu tahun, dan ternyata belum selesai pekerjaan itu diadendum waktunya, bukan perpanjangan,” kata Sahat dalam sidang Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023.
Sementara dalam perubahan pada Pasal 56 dan Pasal 59 Undang-Undang Cipta Kerja mengatur batasan jangka waktu PKWT selama lima tahun. Menurut Sahat, perubahan pengaturan PKWT adalah bentuk kepastian hukum.
“Dalam UU Cipta Kerja menurut hasil evaluasi pengamatan di lapangan adalah memberikan kepastian hukum. Kepastiannya PKWT diberikan setahun diperpanjang dengan ketentuan keseluruhan tidak dapat lebih dari lima tahun. Kenapa lima tahun, karena lima tahun untuk pekerjaan yang sifatnya sementara bukan pekerjaan yang terus menerus,” jelas Sahat.
Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 diajukan oleh para Pemohon dari sejumlah serikat pekerja. Menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja cacat secara formil. Para Pemohon juga mempertanyakan tentang persetujuan DPR RI atas penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja).
Para Pemohon menilai hal ini berarti sama halnya DPR RI menyetujui alasan kegentingan memaksa Presiden dalam menetapkan Perppu Cipta Kerja.
Selain itu, berlakunya Pasal 81 UU Cipta Kerja menjadi penyebab terjadinya kerugian atau setidak-tidaknya potensi kerugian konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon yang dapat berakibat hilangnya pekerjaan.