Home Ekonomi Implikasi UU Cipta Kerja Pada Sektor Perkebunan

Implikasi UU Cipta Kerja Pada Sektor Perkebunan

0

Pelaku usaha dan buruh sawit sepakat menjalankan Undang-Undang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan pelaksananya.

Regulasi ini diperlukan agar daya saing sawit  semakin kuat menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional, dan perlindungan hak pekerja.

“Pemerintah telah menerbitkan Undang-undang Cipta Kerja yang diharapkan menjadi stimulus ekonomi. Dalam kondisi normal tanpa pandemi, harapannya regulasi ini mendorong pertumbuhan ekonomi 5,7 persen sampai 6 persen melalui penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan volume ekspor,” ujar Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian RI.

Penjelasan ini diungkapkannya  dalam dialog webinar bertemakan “Bedah UU Cipta Kerja Bagi Sawit Borneo Berkelanjutan”, Kamis (6 Mei 2021) yang  diselenggarakan oleh Majalah Sawit Indonesia dan Borneo Forum.

Dialog ini dihadiri Haiyani Rumondang (Dirjen Binwasnaker dan K3 Kementerian Ketenagakerjaan RI), Joko Supriyono (Ketua Umum GAPKI) serta pembicara lainnya yaitu Yuli Adiratna (Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan Kemenaker RI), Nursanna Marpaung (Sekretaris Eksekutif JAPBUSI), dan Sumarjono Saragih (Ketua Bidang Ketenagakerjaan GAPKI).

Musdhalifah menjelaskan bahwa UU Cipta Kerja idealnya disikapi positif oleh pelaku usaha dan pekerja di Indonesia dan khususnya di sektor kelapa sawit karena meningkatkan daya saing Indonesia dengan negara lain.

“Selain itu, UU Cipta Kerja akan meningkatkan keberterimaan produk sawit Indonesia di pasar global dan memperkuat citra positif kelapa sawit berkelanjutan. Ini dapat berdampak naiknya penerimaan negara dan memperbaiki tingkat kesejahteraan rakyat khususnya perusahaan dan pekerja di sektor kelapa sawit Indonesia,” jelas Doktor lulusan Institut Pertanian Bogor ini.

Haiyani Rumondang, Dirjen Binwasnaker dan K3 Kementerian Ketenagakerjaan RI, menjelaskan Undang-Undang Cipta Kerja merupakan terobosan hukum dalam rangka penciptaan lapangan kerja yang seluas-luasnya, meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia dan menciptakan ekosistem ketenagakerjaan adaptif dalam upaya peningkatan kualitas perlindungan terhadap pekerja.

“Pemerintah mendorong penciptaan lapangan kerja khususnya di sektor sawit yang banyak menyerap tenaga kerja,  dalam rangka  peningkatan kesejahteraan pekerja dan masyarakat pada umumnya,” pinta Haiyani.

Joko Supriyono, Ketua Umum GAPKI, mengatakan industri sawit selama  tiga tahun terakhir menghadapi gempuran  kampanye negatif yang berkaitan ketenagakerjaan. Kalau dulu, kampanye negatif memakai isu orang hutan dan lingkungan tetapi sekarang beralih pekerja perempuan dan anak.

Nursanna Marpaung, Sekretaris Eksekutif Jejaring/Serikat Pekerja Buruh Sawit Indonesia mengatakan organisasinya telah membangun kerjasama yang baik semenjak 2017 melalui serangkaian kegiatan seperti pelatihan dan workshop bersama di beberapa wilayah dan riset tentang pekerja perempuan bersama HUKATAN.  Saat ini, jumlah anggota JAPBUSI mencapai 2 juta orang yang tersebar di Indonesia.

“Kami ingin dapat bekerja berdampingan dengan perusahaan supaya dunia tahu praktik pekerjaan di perkebunan sawit telah berjalan baik,” ujar Nursanna.

Di bidang Ketenagakerjaan, GAPKI mengadopsi praktik ketenagakerjaan terbaik untuk selanjutnya dibagikan kepada anggotanya.  Sumarjono Saragih, Ketua Bidang Ketenagakerjaan GAPKI, menerangkan pemahaman kerja layak perlu diketahui perusahaan, pekerja, dan petani sehingga terwujud keinginan bersama sawit berkelanjutan.

Menurutnya, GAPKI telah banyak melakukan  inisiatif di bidang Ketenagakerjaan seperti  pelatihan KNK (Kader Norma Ketenagakerjaan) dan membuat Buku Panduan Praktis Perlindungan Hak Pekerja Perempuan di Perkebunan Sawit yang disusun GAPKI bekerjasama dengan CNV Indonesia dan Federasi Serikat Buruh Kehutanan, Perkayuan dan Pertanian (F-Hukatan).

No comments

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version