Polemik Keberadaan Rohingya di Indonesia

Date:

Oleh: Anindya Nasywa

Besarnya gelombang para pengungsi Rohingya yang datang ke Aceh tengah menjadi perbincangan hangat publik bahkan menjadi polemik di tengah masyarakat Aceh dan seluruh Indonesia. Pasalnya, kedatangan pengungsi dari Rohingya tersebut terjadi secara tiba-tiba hingga menimbulkan insiden penolakan warga Aceh atas kehadiran kelompok etnis Indo-Arya di tanah Rencong tersebut.

Dalam kurun waktu 14-21 November 2023 ada 1.084 pengungsi Rohingya yang datang ke Sabang, Aceh. Mereka datang dengan menumpangi kapal milik warga Bangladesh.
Badan Pengungsi PBB (UNHCR), melaporkan bahwa per 31 Oktober 2023, lebih dari sejuta pengungsi Rohingya pergi ke berbagai negara untuk mencari perlindungan.

Lantas siapa pengungsi Rohingya dan mengapa mereka melarikan diri? Dan mengapa belum ada kepastian dari pemerintah Indonesia?

Apa dan dari mana asal Rohingya?

Rohingya adalah etnis minoritas Muslim yang mempraktikkan variasi Islam Sunni yang dipengaruhi oleh Sufi. Diperkirakan terdapat 3,5 juta orang Rohingya yang tersebar di seluruh dunia. Sebelum bulan Agustus 2017, mayoritas dari sekitar satu juta orang Rohingya di Myanmar tinggal di negara bagian Rakhine, dimana jumlah mereka hampir sepertiga dari total populasi. Mereka berbeda dari kelompok Budha yang dominan di Myanmar dalam hal etnis, bahasa, dan agama.

Kaum Rohingya menelusuri asal usul mereka di wilayah tersebut hingga abad kelima belas, ketika ribuan umat Islam datang ke bekas Kerajaan Arakan. Banyak lainnya yang tiba pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika Rakhine diperintah oleh pemerintahan kolonial sebagai bagian dari British India.

Sejak kemerdekaan pada tahun 1948, pemerintahan berturut-turut di Burma, yang berganti nama menjadi Myanmar pada tahun 1989, telah membantah klaim historis Rohingya dan menolak pengakuan kelompok tersebut sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis resmi di negara tersebut. Rohingya dianggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh, meskipun banyak yang berasal dari Myanmar sejak berabad-abad yang lalu.

Baik pemerintah pusat maupun kelompok etnis Budha yang dominan di Rakhine, yang dikenal sebagai Rakhine, tidak mengakui label “Rohingya,” sebuah istilah yang mengidentifikasi diri mereka sendiri yang muncul pada tahun 1950an, yang menurut para ahli memberikan identitas politik kolektif bagi kelompok tersebut.

Meskipun akar etimologis dari kata tersebut masih diperdebatkan, teori yang paling diterima secara luas adalah bahwa Rohang berasal dari kata “Arakan” dalam dialek Rohingya dan ga atau gya berarti “dari.” Dengan mengidentifikasi diri sebagai Rohingya, kelompok etnis Muslim tersebut menegaskan ikatannya dengan tanah yang pernah berada di bawah kendali Kerajaan Arakan, menurut Chris Lewa, direktur Proyek Arakan, sebuah kelompok advokasi yang berbasis di Thailand.

Sayangnya, di tahun 1784, Arakan kembali dikuasai oleh Raja Myanmar. Kemudian, di tahun 1824, Arakan menjadi koloni Inggris. Sejak itulah populasi Islam di kawasan Arakan mulai berkurang secara perlahan.

Awal Konflik Rohingya

Pemerintah menolak memberikan kewarganegaraan kepada warga Rohingya, dan akibatnya sebagian besar anggota kelompok tersebut tidak memiliki dokumen hukum, sehingga membuat mereka tidak memiliki kewarganegaraan. Undang-undang kewarganegaraan Myanmar tahun 1948 sudah bersifat eksklusif, dan junta militer, yang merebut kekuasaan pada tahun 1962, memperkenalkan undang-undang lain dua puluh tahun kemudian yang mencabut akses warga Rohingya terhadap kewarganegaraan penuh.

Hingga baru-baru ini, masyarakat Rohingya dapat mendaftar sebagai penduduk sementara dengan menggunakan kartu identitas, yang dikenal sebagai kartu putih, yang mulai dikeluarkan junta kepada banyak warga Muslim, baik Rohingya maupun non-Rohingya, pada tahun 1990an. Kartu putih memberikan hak terbatas tetapi tidak diakui sebagai bukti kewarganegaraan.

Kebijakan diskriminatif pemerintah Myanmar sejak akhir tahun 1970an telah memaksa ratusan ribu Muslim Rohingya meninggalkan rumah mereka di negara yang mayoritas penduduknya beragama Budha tersebut. Sebagian besar menyeberang melalui darat ke Bangladesh, sementara yang lain melalui laut untuk mencapai Indonesia, Malaysia, dan Thailand.

Perkembangan terbaru saat ini kekerasan terbaru meletus di negara bagian Rakhine, Myanmar, yang banyak dihuni Muslim Rohingya. Gelombang kekerasan baru ini menandai eskalasi dramatis sejak Oktober 2016 lalu ketika milisi Rohingya melakukan serangan dengan skala yang lebih kecil. Para pengungsi menuduh aparat keamanan Myanmar dan kelompok militan radikal Buddha membakar desa-desa mereka.

Mulai tahun 2017, kekerasan yang kembali terjadi, termasuk laporan pemerkosaan, pembunuhan, dan pembakaran, memicu eksodus warga Rohingya, ketika pasukan keamanan Myanmar mengklaim bahwa mereka sedang melakukan kampanye untuk mengembalikan stabilitas di wilayah barat negara tersebut.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan bahwa kekuatan-kekuatan tersebut menunjukkan “niat genosida,” dan tekanan internasional terhadap para pemimpin terpilih di negara tersebut untuk mengakhiri penindasan terus meningkat.

Pemerintah Myanmar berdalih, pasukan keamanan mereka sekadar mengambil langkah balasan terhadap serangan bulan lalu terhadap lebih dari 20 pos polisi oleh milisi Rohingya.

Bentrokan susulan sesudah itu membuat banyak warga sipil baik Islam maupun Buddha, lari menyelamatkan diri dari desa-desa mereka.

Setelah serangan milisi pada bulan Oktober 2016, militer melakukan operasi pembalasan yang keras, dan banyak warga Rohingya menuduh bahwa dalam operasi itu pasukan keamanan melakukan pemerkosaan, pembunuhan, pembakaran desa dan penyiksaan.

PBB sudah menyebut serangan balasan dari militer terhadap etnis Rohingya pada Oktober lalu sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Militer Myanmar mengatakan mereka sebisa mungkin akan menahan diri tapi juga menegaskan ‘punya hak untuk membela diri dari serangan-serangan teroris’.

PBB mendefinisikan Rohingya sebagai minoritas agama dan bahasa dari Myanmar barat dan bahwa Rohingya adalah salah satu dari minoritas yang paling dipersekusi atau paling mendapat perlakuan buruk di dunia.

Namun asal kata Rohingya, dan bagaimana mereka muncul di Myanmar, menjadi isu kontroversial. Sebagian sejarawan mengatakan kelompok ini sudah berasal dari ratusan tahun lalu dan lainnya mengatakan mereka baru muncul sebagai kekuatan identitas dalam seabad terakhir.

Pemerintah Myanmar berkeras bahwa mereka adalah pendatang baru dari subkontinen India, sehingga konstitusi negara itu tidak memasukkan mereka dalam kelompok masyarakat adat yang berhak mendapat kewarganegaraan.

Mereka tinggal di salah satu negara bagian termiskin di Myanmar, dan gerakan dan akses mereka terhadap pekerjaan sangat dibatasi.

Secara historis, mayoritas penduduk Rakhine membenci kehadiran Rohingya yang mereka pandang sebagai pemeluk Islam dari negara lain dan ada kebencian meluas terhadap Rohingya di Myanmar.

Di sisi lain, penduduk Rohingya merasa bahwa mereka adalah bagian dari Myanmar dan mengklaim mengalami persekusi oleh negara. Negara tetangga Bangladesh sudah menerima ratusan ribu pengungsi dari Myanmar dan tak mampu lagi menampung mereka.

Banyak warga Rohingya yang tinggal di kamp penampungan sementara setelah dipaksa keluar dari desa mereka oleh gelombang kekerasan komunal yang menyapu Rakhine pada tahun 2012.

Alasan Rohingya Melarikan diri dari Bangladesh

Dikarenakan masalah keamanan di Bangladesh yakni banyak perlakuan seperti penculikan, pemerasan, pembunuhan, penembakan, dan serangan. Menurut laporan Human Rights Watch 2023, bahwa terdapat geng kriminal dan afiliasi kelompok bersenjata Islamis yang menyerang kamp pengungsi pada malam hari. Bahkan menurut kepolisian Bangladesh, tahun ini sedikitnya 60 orang Rohingya terbunuh di kamp Cox’s Bazar. Kurangnya sumber makanan dan sulitnya mengakses pekerjaan dan pendidikan menjadi  faktor mereka melarikan diri hingga mengungsi ke Indonesia bagian Aceh.

Indonesia Tengah Mencari Langkah Menyikapi Rohingya

Berbagai analisis banyak yang berkembang terhadap isu ini, namun kita harus mendukung pemerintah yang tengah mengupayakan mencari jalan kesepakatan yang kemungkinan dilakukan antara pemerintah Indonesia dengan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), maupun dengan pemerintah daerah Aceh.

Mungkin saja juga sudah diputuskan namun masih menimbang dampak-dampak sosial yang tengah terjadi di masyarakat Aceh. Di sisi lain, adanya kemungkinan pemerintah Indonesia tengah merencanakan peraturan apa yang akan diberlakukan sebagai nomenklatur yakni dari Perpres Nomor 125 Tahun 2016 atau UU RI No.16 tahun 2011 tentang keimigrasian.

*)Penulis merupakan mahasiswi hubungan internasional

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

More like this
Related

Pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 sebagai Momentum Persatuan Bangsa

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 sudah di depan mata,...

UU Cipta Kerja Kuatkan Fundamental Ekonomi Nasional

Undang-Undang (UU) Cipta Kerja merupakan salah satu kebijakan penting pemerintah dalam memajukan perekonomian nasional....

Pemerintah Konsisten Kawal Percepatan Pembangunan di Papua

Seorang tokoh gereja di Papua, Pendeta Iker Rudy Tabuni...

Pemerintah Bangun Infrastruktur Industri Gula dan Bioetanol di Merauke

Pemerintah sedang membangun lima pabrik gula yang terintegrasi dengan bioetanol di...