Home Ideologi Mewaspadai Ancaman Teror Jelang Pemilu 2024

Mewaspadai Ancaman Teror Jelang Pemilu 2024

0

JAKARTA – INDONESIABANGSAKU Serangan terorisme sepanjang tahun 2022 mengalami penurunan hingga 56 persen dibandingkan tahun 2021. Penurunan aksi teror itu diharapkan tidak membuat masyarakat lengah dan menurunkan kewaspadaan. Sebab, ancaman teror berpotensi meningkat, terutama menjelang Pemilu 2024.

Merujuk data Global Terrorism Index yang dirilis tahun 2023 oleh Institute for Economic and Peace, Indonesia menempati peringkat ke-24 untuk negara paling terdampak terorisme secara global. Sepanjang 2022, Indonesia mencatat jumlah serangan terendah sejak 2014, yakni tujuh serangan teror. Jumlah tersebut 56 persen lebih rendah dibandingkan 2021 yang tercatat sebanyak 24 serangan teror.

Adapun Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat, sepanjang 2018-2022 terjadi 49 kali serangan teror di Indonesia. Serangan teror tertinggi, yakni 30 kasus, terjadi pada 2018 dan 2019, bersamaan dengan penyelenggaraan tahapan pemilu.

Kepala BNPT Komisaris Jenderal Rycko Amelza Dahniel mengatakan, upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan dan terorisme memang menunjukkan tren positif. Meski demikian, keadaan ini tidak boleh menurunkan kewaspadaan semua pihak dalam mencegah terorisme, terutama menjelang Pemilu 2024.

”Berdasarkan teori gunung es situasi ini sesungguhnya hanya keadaan yang terlihat dan muncul di permukaan saja. Tentunya kita tidak boleh berpuas diri. Kita tetap harus waspada dengan berbagai dinamika gerakan yang muncul di bawah permukaan dari para jaringan terorisme yang mulai menyusup ke sendi-sendi kehidupan warga,” kata Rycko

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, memasuki tahun politik, maka sangat rentan terjadi kekerasan dan ketidakstabilan politik. Kewaspadaan tetap terus dibangun, terutama menjelang Pemilu 2024. Sebab, berdasarkan pengalaman sebelumnya, aksi teror meningkat menjelang Pemilu 2019.

”Kita tidak boleh berpuas diri dengan adanya penurunan serangan terorisme. Sebab, keberhasilan penurunan serangan adalah dampak dari kuatnya aparat keamanan penegak hukum serta intelijen dalam melakukan deteksi dini dan langkah pencegahan,” tuturnya.

Mahfud mencontohkan, pada tahun 2019 terdapat 11 kali serangan terorisme. Namun, ada 15 perencanaan serangan teror yang berhasil digagalkan. Demikian pula pada 2022, hanya terdapat dua serangan terorisme, tetapi pada tahun tersebut tercatat 10 perencanaan serangan yang digagalkan. ”Kita harus waspada pada perkembangan intoleransi dan ekstremisme ini di tengah masyarakat,” ujar Mahfud.

Rycko menjelaskan, pola serangan terorisme mengalami perubahan dari semula dengan serangan terbuka menjadi pendekatan yang memasuki kehidupan masyarakat. Paham ekstremisme ini semakin mendekati anak-anak sekolah dan melalui media sosial. ”Meski kita tidak membicarakan menangkal senjata, tetapi kita harus menghadapi perubahan strategi mereka. Pendekatan dan strategi yang perlu kita antisipasi,” katanya.

Kewaspadaan tetap terus dibangun, terutama menjelang Pemilu 2024. Sebab, berdasarkan pengalaman sebelumnya, aksi teror meningkat menjelang Pemilu 2019.

Oleh karena itu, BNPT juga memperbarui strategi pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan. Setidaknya ada empat produk pengetahuan yang diluncurkan BNPT terkait tren perkembangan dan evaluasi program pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan. Produk pengetahuan itu adalah I-KHub BNPT Counter Terrorism and Violent Extremism Outlook; K-Hub PCVE Outlook; Mid-Term Evaluation RAN PE (Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme); dan Analisis Kesiapan Pemerintah Daerah untuk Melaksanakan RAN PE.

Keempat produk pengetahuan itu, kata Rycko, ditulis secara kolaboratif dengan perspektif multipihak dan multidisipliner yang melibatkan organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan para mitra. ”Kunci keberhasilan dalam penanggulangan terorisme melalui semangat bersama, dengan melibatkan semua pemangku kepentingan seperti pemerintah, akademisi, media, pelaku usaha, dan masyarakat,” tuturnya.

Pendidikan

Direktur Pusat Kajian Keamanan dan Hubungan Internasional (Cesfas) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia Angel Damayanti berpendapat, kepolisian memang harus semakin gencar mencegah terorisme dengan menangkap terduga teroris. Namun, upaya ini juga harus dibarengi dengan melawan pemahaman ideologi melalui pendidikan.

”Bicara terorisme adalah soal paham dan perbuatan. Perbuatan diatur pidana, soal paham, ya, di pendidikan. Ini yang belum optimal dilakukan,” tuturnya.

Pemahaman mengenai pencegahan ekstremisme melalui pendidikan penting karena saat ini terdapat ratusan situs dan akun platform media sosial yang bermuatan unsur radikal dan menyebarkan konten propaganda. Lalu, ada eks terpidana terorisme yang kembali melakukan teror. Keberadaan residivis tak hanya bisa berdampak pada aksi teror perseorangan. Residivis juga bisa memengaruhi orang lain untuk melakukan serangan terorisme.

”Anak-anak eks napi terorisme juga perlu diperhatikan. Lingkungan keluarga dan sekolahnya mesti dilihat kembali, jangan-jangan belum berubah hingga mereka berusia dewasa nanti,” tutur Angel.

Upaya pencegahan, lanjut Angel, juga perlu melibatkan unsur pendidikan, keagamaan, kemasyarakatan, kebudayaan, dan keamanan. Dengan melibatkan unsur masyarakat, maka dapat menjadi mata dan telinga dalam mengenali perilaku ekstremisme. Karena itulah, edukasi terhadap masyarakat tentang ekstremisme kekerasan, indikatornya, dan cara mengenali terorisme sangat dibutuhkan.

No comments

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version