INDONESIA kini tengah memasuki masa kontestasi kepemimpinan, bertempur ide mencari solusi. Salah satu yang menjadi sumber kecemasan bersama adalah bagaimana Indonesia mampu untuk melewati celah sempit bonus demografi. Sejatinya waktu kita cukup terbatas, sehingga jika tidak piawai maka kita akan kehilangan kesempatan mencapai kondisi emas di tahun 2045.
Jendela kesempatan sempit, yakni perhitungan matematis kami menunjukkan, bahwa bonus demografi akan segera habis di tahun 2038. Namun, kondisi bonus demografi ini juga sebenarnya sesuatu hal yang cukup meragukan, karena sebagaimana nasihat Prof Mayling Oey Gardiner kepada saya beberapa waktu yang lalu, “All too late. Can’t say anymore let us use bonus demography.”
Meskipun demikian, saya masih optimistis celah tersebut dilalui, tergantung bagaimana caranya. Karena sejatinya, ekonomi tak hanya dilihat sebagai mesin untuk mencapai pertumbuhan, tetapi juga sebagai jembatan menuju kemerdekaan sejati yang dirasakan oleh semua.
Sebagaimana Development as freedom yang menjadi mantra ekonom masyhur Amartya Sen. Indonesia, dengan keberagaman dan potensinya, telah lama berada dalam perburuan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Namun, di balik ambisi membangun kemakmuran, ternyata kita menghadapi tantangan yang membuat pertumbuhan itu seolah sulit untuk dikejar.
Tentunya setiap calon presiden dan wakil presiden juga sudah mafhum, mereka punya target pertumbuhan ekonomi yang meskipun bervariasi, tapi memiliki tujuan yang sama: menolak menjadi tua sebelum kaya, keluar dari jebakan pendapatan menengah. Target pertumbuhan ekonomi untuk masing masing kandidat no 1, 2 dan 3 adalah berturut-turut 5.5-6.5%, 6-7% dan 7%.
Saya cukup sepakat dengan target tersebut, karena sebagaimana perhitungan dalam bab 3 buku kami yang berjudul Globalization, Productivity and Production Networks in ASEAN jika ingin melewati celah tersebut setidak-tidaknya ekonomi harus tumbuh minimal 6% secara rata hingga tahun 2038 nanti, jika tidak maka celaka duabelas.
Namun, melentingkan pertumbuhan ekonomi di atas 5% bukannya tanpa masalah. Dalam perhitungan teknis menggunakan metode hodrick prescott filter, selisih antara output aktual dan potensial hanya sekitar 1%. Artinya, jika pertumbuhan dipaksa mendekati 6% atau bahkan lebih, akan menciptakan risiko economic overheating, ibarat mesin mobil, jika kepanasan justru akan mandek alias mogok.
Dalam ekonomi ada beberapa hal yang bisa terjadi secara bersamaan ketika ekonomi kepanasan, yaitu nilai rupiah menjadi anjlok (terdepresiasi), inflasi tinggi, neraca dagang tekor. Untuk itu, maka sebagaimana argumen saya dalam buku tersebut, dibutuhkan setidaknya tiga pilar yang kukuh: 1. Infrastruktur, 2. Sumber daya manusia yang unggul, 3. Institusi yang tangguh.
Bahkan jika meminjam pandangan dua ekonom dunia yang kesohor, William Easterly dan Daron Acemoglu, pilar institusi menjadi fondasi yang paling penting untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Easterly dalam bukunya The Elusive Quest for Growth menyoroti pentingnya memerangi korupsi dan menciptakan insentif bagi inovasi dan usaha lokal.
Sementara itu, Acemoglu, dalam bukunya The Role of Institutions in Growth and Development, menekankan peran penting institusi dalam membentuk pertumbuhan ekonomi. Acemoglu berpendapat bahwa lembaga-lembaga yang inklusif, yang memberikan hak dan peluang kepada seluruh masyarakat, cenderung mendukung pertumbuhan jangka panjang. Sebaliknya, lembaga-lembaga yang eksklusif dan otoriter dapat menghambat perkembangan ekonomi. Oleh karena itu, pembenahan institusi akan berfungsi sebagai bantalan yang kukuh, yang akan menjaga ekonomi supaya tidak kepanasan di awal sembari menuju pada pembangunan ekonomi yang inklusif.
Dalam konteks pembangunan yang inklusif, bisa juga kita merujuk pada kritik Jeffrey Sachs dalam Price of Civilization yang menunjuk beberapa seri krisis global (economic overheating) sebagai produk dari peradaban yang lupa membayar ongkos kemakmuran. Ongkos yang harus dibayar itu adalah dimana para golongan kaya harus diikat sehingga kekayaanya bisa digunakan sebagian untuk membiayai pembangunan.
Sejalan dengan itu, maka menarik untuk melihat juga target rasio pajak dari masing-masing kandidat. Untuk kandidat no 1, no 2 dan no 3 ialah berturut-turut 13-16%, 23% dan 14-16%. Target-target ini sejatinya sejalan dengan kritik Sachs terhadap orang-orang yang berkelebihan, yang seharusnya semakin terlibat dalam pembangunan ekonomi.
Akan tetapi, yang juga perlu diperhatikan adalah, atribut oksimoron dari target tersebut dengan target pertumbuhan ekonomi. Peningkatan rasio pajak yang terlalu agresif (sekarang saja rasio pajak masih berkutat di angka 9%) maka akan memiliki konsekuensi buruk, ekonomi bisa saja selip dan terguling.
Rasio pajak dipaksakan meningkat di jangka pendek artinya sama saja meningkatkan memaksa para pembayar pajak berkontribusi lebih. Akibatnya, target pertumbuhan ekonomi di atas 5% bisa saja tidak tercapai. Rasio pajak bisa saja ditingkatkan tanpa menaikkan pajak, jika digandeng dengan pembenahan dimensi institusional.
Merujuk World Governance Indicators, dimensi tersebut adalah: akuntabilitas, stabilitas politik efektivitas pemerintahan, kualitas regulasi, supremasi hukum dan pengendalian korupsi. Masalahnya, perbaikan enam dimensi institusi ini membutuhkan hanya akan terjadi jangka menengah yang sangat mungkin belum tercapai di jangka pendek.
Dengan demikian, kandidat no 1 dan no 3 memiliki target rasio pajak yang jauh lebih realistis dalam jangka 5 tahun dibanding kandidat no 2, yang bisa saja mengakibatkan ekonomi terlalu cepat panas di jangka pendek.
Dalam konteks yang lebih umum, pembenahan institusi menjadi satu patron penting sebelum kita berbicara mengenai target-target yang lain. Akan sangat sulit memastikan target-target bombastis yang bersumber dari APBN jika institusi masih lemah. Yang ada justru terjadinya aktifitas pemburuan rente.
Mempertimbangkan celah yang sempit, tentu siapapun pemimpin ke depan harus bergerak cepat. Namun, cepat harus juga rasional, jangan sampai target dibuat tanpa pegangan, berbenturan satu dengan yang lain. Ke depan tentu kita berharap terjadi pembangunan Indonesia bukan sekadar pembangunan di Indonesia.
*) Fithra Faisal Hastiadi
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI