Pemilu 2024 hanya kurang 5 bulan lagi, sementara itu pada 2023 telah memasuki tahun politik. Baik partai politik maupun para kontestan pemilu bersiap memanaskan strategi menghadapi pesta demokrasi serentak itu.
Tak ayal situasi tersebut patut untuk dicermati, salah satunya ialah soal aspek pengawasan pemilu. Dalam aspek tersebut, peran pengawasan netralitas aparatur sipil negara (ASN) pada Pemilu 2024 menjadi objek yang tak kalah penting untuk dilakukan pengawasan
Wakil Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Tasdik Kinanto menyebut pada pelaksanaan Pilkada 2020, KASN mencatat terjadi pelanggaran netralitas ASN pada 109 daerah dari total 137 daerah (79 persen) yang dipimpin oleh penjabat (Pj.) kepala daerah. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa pejabat pimpinan tinggi rawan terlibat politik praktis.
Sejumlah varian pelanggaran netralitas ASN itu di antaranya imbauan kepada ASN untuk memilih calon tertentu, keberpihakan dalam kebijakan, hingga pelaksanaan kegiatan yang menguntungkan pasangan calon kepala daerah tertentu.
Adapun penyebab ASN menunjukkan ketidaknetralan dalam Pilkada 2020 karena ikatan persaudaraan sebesar 50,76 persen, kepentingan karier sebesar 49,72 persen, kesamaan latar belakang baik pendidikan atau profesi sebesar 16,84 persen, utang budi sebesar 9,5 persen, serta tekanan pasangan calon sebesar 7,48 persen.
Ketua KASN Agus Pramusinto saat forum konsultasi publik dengan tema “Refleksi Membangun Sistem Merit” pada awal pekan ini mengamini pula bahwa intervensi ASN menjelang pemilu dan pilkada serentak tahun 2024 yang kemungkinan banyak menimbulkan potensi masalah menjadi salah satu tantangan KASN dalam menjalankan tugas pengawasannya.
ASN unsur seksi
Kepala Biro Fasilitasi Penanganan Pelanggaran Pemilu (FPPP) Bawaslu RI Yusti Erlina mengatakan ASN yang meliputi pegawai negeri sipil (PNS) maupun pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) menjadi unsur yang sangat seksi untuk didekati oleh para kandidat maupun partai politik dalam kontestasi pemilu karena memiliki hak pilih atau suara yang bila diakumulasikan terbilang sangat besar dan menentukan, terlebih di daerah dalam konteks pelaksanaan pilkada.
Posisi ASN memiliki potensi tidak netral karena mengampu kewenangan mengelola keuangan dan aset negara, menggunakan fasilitas negara, serta membuat kebijakan yang berdampak pada masyarakat luas
Pentingnya netralitas ASN lantaran memiliki fungsi sebagai pelaksana kebijakan publik karena kebijakan-kebijakan tersebut dapat mempengaruhi masyarakat atas capaian hasil kinerja ASN tersebut yang memiliki potensi untuk didomplengi oleh kandidat pemilu tertentu untuk mensukseskan program-programnya.
Ada tiga faktor utama yang disebutnya menjadi motif dasar pelanggaran netralitas ASN pada Pilkada 2020, yakni eksistensi hak pilih yang dimiliki oleh seorang ASN, di mana berdasarkan UU Pemilihan ataupun UU Pemilu tidak mencabut hak pilih bagi ASN sebagaimana anggota TNI atau Polri. Kedua, kepentingan pribadi ASN, baik kepentingan terhadap jabatan atau karier dan kedekatan dengan seorang calon kepala daerah ataupun wakilnya.
Ketiga, politisasi birokrasi yang dilakukan oleh calon kepala daerah, yang umumnya dilakukan oleh calon berstatus sebagai petahana. Melalui kekuasaannya, peserta pemilihan yang berstatus petahana dapat memberikan tekanan atau janji promosi kepada ASN dengan syarat memberikan dukungan kepadanya.
Efektifkan pengawasan
Dengan posisi strategis ASN tersebut, Bawaslu tidak dapat bekerja sendiri untuk mengawasi netralitas ASN pada pemilu. Dalam menjalankan tugas pengawasannya, badan pengawas ini pun tidak dapat langsung memberikan sanksi kepada ASN yang diduga melanggar, melainkan harus diteruskan kepada KASN selaku yang berwenang memberikan rekomendasi sanksi. Pada 2023, Bawaslu RI akan membuat strategi pengawasan dan pencegahan terkait netralitas ASN dalam pemilu bersama KASN dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Untuk mengefektifkan pengawasan terhadap netralitas ASN pada pemilu mendatang, KASN akan bekerja sama dengan lembaga lain seperti BKN, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB), hingga Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) agar rekomendasi sanksi yang dikeluarkan dipatuhi dan ditindaklanjuti demi tegakknya integritas ASN dan pemilu yang demokratis.
Peneliti Badan Riset dan Investasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro mengatakan bahwa etika politik dalam berdemokrasi sangat penting dikedepankan oleh para penyelenggara negara dan pejabat publik agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran yang merugikan publik.
Untuk itu, diperlukan sosialisasi secara serius terkait pentingnya etika politik khususnya saat Indonesia melaksanakan Pemilu 2024. Tugas menyosialisasikan etika politik diemban oleh semua pihak, baik birokrat/ASN, elit politik, hingga tokoh dan pemuka dari berbagai bidang.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini juga mengatakan perlu ada sistem penanganan pelanggaran yang terintegrasi, di mana melibatkan sinergi seluruh elemen bangsa, baik Bawaslu, KASN, Ombudsman, Kemendagri, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan lain sebagainya.
Selain itu, perlu pula menguatkan jangkauan pendidikan pemilih dan sosialisasi kepemiluan dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat dari berbagai latar belakang atau basis.
Sejumlah rekomendasi lainnya untuk peningkatan pengawasan netralitas ASN pada Pemilu 2024 yakni dengan mendorong efektivitas dan mekanisme proteksi whistle blowing system yang kuat dalam internal jajaran ASN itu sendiri, termasuk juga memberikan akses kemudahan masyarakat untuk melapor dengan keamanan dan perlindungan hukum.
Di samping itu, harus ada pula jaminan transparansi dan akuntabilitas proses pengawasan dan penegakan hukum atas netralitas ASN. Meski demikian ia menyebut sanksi administratif jauh lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan pemidanaan.
Titi merekomendasikan pula level pengaturan terkait etik dan perilaku ASN khususnya pada pemilu dan pilkada dibuat pada level regulasi yang lebih mengikat seperti peraturan pemerintah atau peraturan presiden, dan bukan dalam bentuk surat keputusan bersama (SKB).
Penghapusan hak pilih ASN dalam pemilu, menurut dia, bukanlah solusi efektif untuk mengatasi problem ketidaknetralan aparatur negara. Sebaliknya, yang dibutuhkan ialah konsolidasi yang makin baik dari institusi-institusi yang sudah ada untuk memerankan pengawasan dan penegakan terhadap netralitas dan profesionalitas ASN.