Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto menyatakan perekonomian global terus diterpa tantangan yang dapat memicu terjadinya resesi. Kondisi ini disebut sebagai “The Perfect Storm”.
Karenanya, Undang-Undang Cipta Kerja mencegah dampak kerentanan perekonomian global yang berpotensi berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional.
“Cipta Kerja merupakan salah satu langkah mitigasi dampak krisis global. Ibaratnya, mencegah lebih bagus daripada memadamkan kebakaran. Perpu Cipta Kerja mencegah kebakaran terjadi dan meluas,” kata Airlangga saat menyampaikan Pendapat Akhir Pemerintah Terhadap Rancangan Undang-Undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang di Gedung DPR-RI Jakarta.
Merangkum dari berbagai laporan perekonomian global yang diantaranya dari IMF, Bank Dunia, dan OECD, tantangan yang akan dihadapi tersebut, kata Airlangga antara lain, pandemi COVID-19 yang belum usai, inflasi yang semakin tinggi pasca pemulihan pandemi, perang Rusia-Ukraina, hingga pengetatan kondisi keuangan di berbagai negara di dunia yang kemudian menyebabkan perlambatan perekonomian global.
Meskipun kondisi di berbagai negara mulai mereda, namun pandemi COVID-19 belum usai. Berbagai negara masih melaporkan peningkatan jumlah kasus aktif harian, terutama di beberapa negara yang tingkat vaksinasinya masih rendah.
Krisis karena pandemi yang menerpa sektor riil, menyebabkan pemulihan yang terjadi dipercepat karena masyarakat yang ingin segera kembali ke keadaan normal. Dampaknya, terjadi kenaikan permintaan yang besar dan tidak diiringi dengan pasokan yang memadai.
“Kondisi ini lah yang menyebabkan supply chain disruption, yang pada akhirnya menaikkan harga-harga komoditas utama di seluruh dunia. Sejatinya, inflasi yang terjadi pascapandemi COVID-19 telah diprediksi oleh ekonom dan pengambil keputusan di dunia.
Namun demikian, lanjut Airlangga, ada faktor lain yang menyebabkan disrupsi rantai pasok global semakin buruk dan menghambat pemulihan ekonomi, yakni perang Rusia-Ukraina. Perang itu tidak hanya berdampak pada dua negara yang berperang, namun memperburuk kondisi rantai pasok yang semakin terdisrupsi dan menyebabkan kenaikan tambahan yang signifikan pada harga banyak komoditas, terutama pada komoditas yang menjadi kebutuhan utama global, yakni komoditas energi dan pangan.
“Alhasil, kondisi ini memperparah kondisi inflasi yang memang sudah dalam tren kenaikan pasca pemulihan ekonomi setelah pandemi COVID-19. Untuk melawan inflasi yang terus meningkat, bank sentral berbagai negara dengan cepat dan agresif meningkatkan suku bunga acuannya masing-masing yang berdampak kepada perlambatan permintaan dan pada akhirnya berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi yang tertahan,” ujar Airlangga.
Akibatnya, kata Airlangga, perekonomian menghadapi tantangan stagflasi dan berpotensi mengalami resesi. Di tahun 2023, kondisi permintaan yang melemah disertai suplai yang masih menurun tajam karena disrupsi rantai pasok, memunculkan risiko stagflasi yaitu stagnasi ekonomi dibarengi oleh harga-harga yang tinggi (inflasi).
Bahkan, berbagai lembaga internasional terus menurunkan proyeksi perekonomian global, seperti proyeksi IMF per Januari 2023 yang memprediksi bahwa pertumbuhan PDB global tahun 2023 akan jauh di bawah potensinya, yakni hanya tumbuh 2,9% year-on-year (yoy). Proyeksi tersebut terus menurun dari prediksi sebelumnya sebesar 3,8% yoy (Proyeksi Periode Januari 2022). Inflasi global bertahan tinggi di level 6,6% di 2023 dan 4,3% di 2024, lebih tinggi dibanding pra-pandemi. Volume perdagangan global mengalami penciutan dari 5,4% di 2022 menjadi 2,4% di 2023.
Airlangga menuturkan, UU Cipta Kerja yang lahir di tengah pandemi Covid-19, telah bertransformasi menjadi fondasi yang kuat dalam membawa Indonesia bertahan dari ketidakpastian dan goncangan perekonomian di masa pandemi Covid-19.
Bank Dunia melaporkan pada Desember 2022 bahwa pasca UU Cipta Kerja diterbitkan, Indonesia menjadi negara terbesar kedua penerima Foreign Direct Investment/FDI di Asia Tenggara. Tingkat PMA di Indonesia meningkat rata-rata 29,4% pada 5 triwulan setelah diterbitkannya UU Cipta Kerja dibandingkan dengan tingkat PMA 5 triwulan sebelum UU Cipta Kerja diterbitkan.
“Hal ini menandakan bahwa investor merespon positif dengan hadirnya UU Cipta Kerja. Begitu juga OECD melaporkan bahwa implementasi UU Cipta Kerja dapat mengurangi hambatan untuk FDI lebih dari sepertiga dan mengurangi hambatan perdagangan dan investasi hampir 10% pada Tahun 2021. Hal ini menandakan aspek positif hadirnya UU Cipta Kerja perlu dipertahankan oleh Pemerintah, terlebih dalam situasi perekonomian dunia yang tengah krisis,” ujar Airlangga.