Pertandingan final Piala Dunia 2006 dikejutkan oleh aksi Zidane menanduk Materazzi. Satu miliar lebih orang yang menyaksikan di dunia gugup. Mengapa kapten Perancis itu tiba-tiba bersikap brutal kepada bek Italia tersebut. Keesokan harinya Perancis gagap. Media, penggemar dan para orang tua sepakat bertanya, “Zidane, apa yang harus kami jelaskan kepada anak-anak kami?”
Insiden tersebut merupakan bukti bahwa Sepakbola di negara eropa adalah milik bersama, dikembangkan bersama dan diarahkan untuk kepentingan bersama. Sehingga semua pihak baik organisasi, media, pemilik klub, penggemar, para orangtua hingga sekolah berdiri bersama dibelakang sepakbola. Mereka berhak bertanya segala hal tentang sepakbola dinegaranya. Inilah yang membuat sepak bola eropa maju dalam kualitas individu, permainan, dan peradabannya.
Sementara di Indonesia terlihat sepakbola menjadi milik orang per orang yang dikembangkan melalui keputusan sendiri dan diarahkan untuk kepentingan pribadi. Sehingga semua pihak dalam sepakbola baik organisasi, media, pihak klub, penggemar dan para orang tua tidak dilibatkan. Bahkan mereka dijadikan sasaran untuk diperdaya.
Baru-baru ini ada 3 hal terkait PSSI yang penting untuk dipertanyakan. Pertama, kebijakan naturalisasi yang ugal-ugalan. Kedua, keputusan untuk mengabaikan kesempatan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2034. Ketiga, laporan pertanggung jawaban serta evaluasi terkait penyelenggaraan tuan rumah Piala Dunia U-17 2023.
Pada kebijakan naturalisasi, timnas Indonesia yang baru saja berhasil mengalahkan Vietnam di penyisihan Piala Dunia 2026 zona asia. Mendapatkan ejekan dari tim Vietnam yang mengatakan mereka sedang berhadapan dengan tim Belanda B. Hal ini didasarkan pada banyaknya pemain naturalisasi dari Belanda di tim Indonesia.
Artinya, PSSI mengubah wajah Indonesia menjadi wajah Belanda. Erick Thohir sebagai ketum PSSI tampak tidak tahu sejarah PSSI. Yaitu PSSI lahir sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1930 yang kebijakan utama dari ketum pertamanya Soeratin adalah melawan Belanda dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Soeratin kala itu mencari cara untuk mendapatkan pengakuan Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat di dunia internasional melalui keikut sertaan dalam Piala Dunia 1938 Perancis.
Erick Thohir juga tidak faham bagaimana membangun kekuatan timnas. Bangunan besar timnas itu harus kuat dari pondasi, bagian bawah, hingga bagian atas. Pondasinya adalah pembinaan Sekolah Sepak Bola (SSB) yang profesional. Lalu bagian bawahnya adalah pembinaan kelompok umur yang terarah. Dan bagian atasnya adalah liga sepakbola nasional yang kompetitif.
Hal lain yang juga cukup penting untuk dipertanyakan adalah kebijakan untuk mengabaikan kesempatan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2034 sebagai jatah zona asia. Erick Thohir disinyalir mengambil keuntungan pribadi dari keinginan besar Arab Saudi untuk menjadi tuan rumah. Karena uang dari negeri Arab yang tak “ber-seri” tidak hanya dapat menyogok organisasi FIFA, tetapi juga negara pesaingnya. Inilah yang membuat Arab Saudi menjadi calon tuan rumah tunggal untuk Piala Dunia 2034 hingga FIFA pun memilihnya.
Padahal, FIFA sudah memberikan lampu hijau kepada Indonesia untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2034. Sebuah penghormatan atas keikutsertaan Indonesia pada Piala Dunia 1938 yang merupakan negara asia pertama yang bermain di Piala Dunia. Dan, sebagai pengakuan FIFA terhadap kemampuan Indonesia menjadi tuan rumah yang baik pada pergelaran Piala Dunia U-17 tahun 2023 serta sebagai pujian FIFA atas antusiasme peminat sepakbola di Indonesia. Indonesia juga memberi pengaruh besar pada event Piala Asia 2024 Qatar. Tak hanya itu, Indonesia selalu memberi pengaruh dalam hal jumlah penonton dari setiap gelaran Piala Dunia, Piala Eropa dan Liga Champions.
Selain itu, Indonesia juga mendapat tawaran dari Australia sebagai tuan rumah bersama Piala Dunia 2034. Karena Australia menyadari bahwa sepakbola bukan olahraga utama di negaranya. Sehingga fasilitas sepakbola Australia tidak mencukupi untuk menjadi tuan rumah sebesar Piala Dunia. Yang membuat Australia harus menggandeng Indonesia dalam membuka peluang untuk menjadi tuan rumah bersama Piala Dunia 2034. Sayangnya Erick Thohir menampikkan tangan Australia, dan menyambut tangan Arab Saudi.
Pada kebijakan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-17 tahun 2023, ada yang luput dari pengamatan pecinta sepakbola nasional. Yaitu bagaimana progres dari penyelenggaraan tersebut. Pecinta sepakbola sebaiknya jangan hanya terpengaruh dari permainan Jerman yang sangat apik hingga menjadikannya juara. Atau dari pujian FIFA terhadap tuan rumah Indonesia.
Tetapi pecinta sepakbola harus menanyakan kebijakan apa yang ditempuh PSSI dalam membuat timnas U-17 untuk dapat lolos ke Piala Dunia U-17 berikutnya. Hal ini menyangkut pembinaan sepakbola anak-anak dan usia kelompok umur.
Lalu, perlu juga di pertanyakan tentang progres apa yang didapat Indonesia dari tuan rumah Piala Dunia U-17 tersebut. Hal ini menyangkut hitung-hitungan berapa besar anggaran yang dikeluarkan untuk menjadi tuan rumah yang bagus. Dan berapa keuntungan dari penyelenggaraan Piala Dunia itu bagi PSSI dan perekonomian Indonesia.
Sebagai pecinta sepakbola sebaiknya jadilah penggemar sepakbola yang cerdas. Sepakbola bukan hanya di lapangan. Tetapi juga di luar lapangan. Dan seringkali yang paling berpengaruh dalam sepakbola justru yang di luar lapangan. Bahkan faktor di luar lapangan dapat menjadi penentu hasil pertandingan.
Sehingga ada anekdot sepakbola yang popular. Yaitu ketika penduduk surga bertanding sepakbola melawan penghuni neraka. Para penghuni neraka langsung pesimis karena semua pemain terbaik dunia ada di surga. Disebabkan mereka orang baik dan rajin bersedekah. Tetapi Iblis menyadarkan mereka untuk optimis. Karena semua wasit dan hakim garis, wasit cadangan dan penilai wasit, inspektur pertandingan dan pengawas pertandingan, hingga pengurus sepakbola, ada di neraka.***
*) Sarman El Hakim, Ketua Umum Masyarakat Sepak Bola Indonesia (MSBI)