Pembentukan Danantara sebagai sovereign wealth fund (SWF) Indonesia menjadi bagian dari strategi besar Presiden Prabowo Subianto dalam mengelola investasi nasional secara lebih optimal. Ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal, menyampaikan pandangannya terkait kesiapan ekosistem keuangan Indonesia dalam mendukung keberlanjutan dan efektivitas lembaga ini.
Sejarah dan Pembelajaran dari Negara Lain
Menurut Fithra Faisal, konsep SWF bukanlah hal baru di Indonesia. Sejak lama, berbagai upaya pembentukan lembaga investasi telah dilakukan, seperti melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dan Indonesia Investment Authority (INA). Namun, baru di era pemerintahan saat ini, SWF diupayakan agar dapat berkelanjutan dan memberikan dampak nyata bagi pembangunan.
Dalam kajian historis, ia mengingatkan bahwa ide serupa pernah muncul di era 1980-an, ketika Sumitro Djojohadikusumo mengusulkan pembentukan super holding kepada Menteri Keuangan saat itu, JB Sumarlin. Gagasan tersebut tidak terealisasi karena Indonesia masih memiliki banyak keuntungan dari sumber daya alam. Sebaliknya, ide ini justru diadopsi oleh Mahathir Mohamad di Malaysia pada 1993 dengan mendirikan Khazanah Nasional.
Selain itu, China juga memberikan contoh menarik dengan mendirikan State-owned Assets Supervision and Administration Commission (SASAC) pada 2003. Dari semula mengelola 196 perusahaan milik negara, SASAC berhasil merampingkannya menjadi 97 perusahaan pada 2023, yang berkontribusi pada peningkatan profit hingga 339 miliar USD, atau naik lebih dari 1.000% dalam dua dekade.
Kesiapan Ekosistem Keuangan Indonesia
Dari sisi ekosistem keuangan, Fithra Faisal menilai bahwa Indonesia telah mengalami modernisasi dalam sistem makroprudensial dan mikroprudensial. Keberadaan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menjadi modal penting dalam memastikan stabilitas dan efektivitas investasi. Selain itu, peran regulator berpengalaman seperti Sri Mulyani dan Muliaman Hadad diharapkan dapat membawa disiplin keuangan yang kuat.
Namun, ia juga menggarisbawahi pentingnya keseimbangan antara kehati-hatian dan agresivitas dalam investasi. Dengan merujuk pada Temasek di Singapura dan Khazanah di Malaysia, Fithra menekankan bahwa SWF harus memiliki strategi investasi yang berorientasi pada sektor-sektor dengan potensi keuntungan tinggi, sambil tetap memperhitungkan risiko yang ada.
Potensi Risiko dan Mitigasi
Meskipun Danantara digadang-gadang menjadi pilar investasi nasional, tantangan utama yang dihadapi adalah potensi risiko korupsi dan inefisiensi. Fithra menyoroti bahwa salah satu kritik utama publik adalah keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan SWF ini. Ia menekankan bahwa corporate governance yang baik harus menjadi prioritas, terutama dalam membangun kepercayaan pasar.
Sebagai contoh, ia menyebut bahwa ketika sektor swasta melihat SWF masih terlalu erat dengan elemen pemerintah, mereka cenderung menahan investasi karena menganggapnya sebagai perpanjangan birokrasi yang berisiko tinggi. Oleh karena itu, penting bagi Danantara untuk menunjukkan independensinya dengan memisahkan secara jelas peran pemerintah dan sektor korporasi. Salah satu langkah konkret yang diusulkan adalah agar pejabat pemerintah yang terlibat langsung dalam pengelolaan Danantara mundur dari jabatan publik mereka demi memastikan profesionalisme dan kredibilitas lembaga ini.
Kesimpulan Danantara memiliki potensi besar untuk menjadi instrumen penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, asalkan dikelola dengan strategi yang tepat dan tata kelola yang transparan. Keberhasilannya akan sangat bergantung pada sejauh mana pemerintah dapat menyeimbangkan peran sebagai regulator dan fasilitator tanpa mengintervensi secara langsung. Jika dikelola dengan profesionalisme tinggi dan mengadopsi praktik terbaik dari negara lain, SWF ini bisa menjadi katalis utama dalam mewujudkan visi ekonomi jangka panjang Indonesia.