Gerakan separatis secara definitif adalah sebuah upaya untuk melepaskan diri dari suatu negara atau merdeka dengan berbagai motif. Salah satu motif yang paling umum adalah kekecewaan terhadap situasi dan perasaan tidak adil. Namun tak jarang juga terdapat motif lain yaitu adanya pihak asing yang menginginkan kawasan tertentu dicaplok, maupun kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan. Kepentingan yang kerap kali diidentikan dengan indikasi ekonomi dan politik.
Gerakan separatisme di Papua terbilang cukup banyak, dan tidak semua disebut dengan istilah umum Organisasi Papua Merdeka (OPM), seperti yang banyak dikenal. Mereka ada dibawah beberapa bendera, seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB), United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), dll. Namun secara umum saat ini gerakan-gerakan tersebut dikelompokkan menjadi Kelompok Separatis Papua (KSP). Jika mereka melakukan kekerasan dengan menggunakan senjata yang mematikan (lethal), mereka akan dikategorikan sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Organisasi-organisasi seperti inilah yang sering kali menjadi penyebab konflik muncul di Papua. Dengan ide separatisme saja, mereka sudah bisa merangsang terjadinya tindak kekerasan, bagaimana jika mereka menggunakan senjata. Parahnya lagi, isu yang dimainkan di media massa adalah kekerasan ini adalah akibat dari aparat keamanan atau negara. Padahal, tugas negara mengamankan rakyat Papua dari tindakan dan aksi mereka.
Mari kita lihat beberapa konflik yang disebabkan oleh KSP tersebut. Sekalipun memang cukup banyak konflik, termasuk konflik bersenjata, yang terjadi di Papua, berikut adalah beberapa peristiwa yang bisa dirangkum untuk menceritakan sejarah konflik di Bumi Cenderawasih tersebut. Perlawanan bersenjata OPM pecah untuk pertama kalinya pada 26 Juli 1965 di Manokwari. Kemudian, menurut laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) berjudul “The Current Status of The Papuan Pro-Independence Movement”, kegiatan penambangan Freeport pada 1973 memicu aktivitas militer OPM di wilayah Timika .
Pada Mei 1977, sekitar 200 gerilyawan OPM menyerang Freeport dan direspons dengan operasi militer, terutama di Desa Amungme. Tanah Freeport sendiri dulunya merupakan tanah adat suku Amungme dan Komoro yang merupakan penduduk asli di wilayah tersebut. Direktur Eksekutif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Markus Haluk dalam buku “Menggugat Freeport” menyebutkan 60 orang suku Amungme menjadi korban kekerasan militer dalam insiden itu.
Kasus-kasus lain juga kerap bermunculan. Contohnya, adalah kasus Wasior pada 2001 dan kasus Wamena pada 2003 yang lagi-lagi disebabkan konflik aparat dengan warga setempat. Gerakan separatis, yang sekarang juga identik dengan istilah kelompok kriminal bersenjata, menuduh pemerintah (aparat keamanan) telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal, tindakan mereka adalah makar yang melawan hukum nasional, alias melawan Pancasila dan UUD 1945.
Selanjutnya, gelombang kekerasan yang terjadi sekitar akhir tahun 2019 mengakibatkan delapan orang sipil tewas di Deiyai dalam kerusuhan pada 28 Agustus 2019. Kemudian, kerusuhan lain terjadi pada 26 September 2019 mengakibatkan 33 orang tewas di Wamena dan empat orang tewas di Jayapura. Tragedi mengenaskan lainnya terjadi pada 2 Desember 2018 yang menewaskan 31 pekerja proyek jalan raya Trans Papua tewas ditembaki di wilayah Nduga oleh kelompok bersenjata Papua pimpinan Egianus Kogoya.
Peristiwa itu dijawab dengan operasi militer di wilayah Nduga. Amnesty International Indonesia mencatat 182 warga sipil Nduga meninggal dalam pelarian diri, setelah kampung mereka didatangi aparat keamanan yang memburu kelompok Egianus. Gerakan separatis menuduh aparat keamanan yang membuat warga sipil sampai kehilangan nyawa, padahal tugas mereka adalah menangkap para pengacau keamanan tersebut. Justru tokoh pro-kemerdekaan Papua, Benny Wenda, yang sering menjadi dalang kerusuhan di Bumi Cendrawasih.
Gerakan yang dilakukan KSP seringkali merupakan gerakan bersenjata yang sporadis dan tidak terkoordinasi dengan baik. Dalam beberapa tahun terakhir, gerakan kemerdekaan Papua ini juga telah berkembang dan merambah kampanye internasional sebagai media melancarkan aksinya. Hal ini karena gerakan bersenjata dianggap tidak efektif lagi dalam mewujudkan visi yang diinginkan. Alhasil, mereka adalah dalang dari semua konflik-konflik yang ada di Papua.
Oleh karena itu, mereka melakukan kampanye internasional yang aktif dan mengangkat isu-isu sensitif tentang Papua kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan juga ke berbagai negara. Sekalipun upaya marak dilakukan, namun tidak ada satu pun negara di dunia yang mengakui bahwa Papua adalah negara. Memang banyak negara mendukung kemerdekaaan Papua, namun semuanya masih mengakui Papua sampai saat ini adalah bagian dari negara Indonesia.
Fakta ini adalah bukti bahwa gerakan separatisme telah kehilangan arah. Ketika dulu mereka gagal dalam berjuang di Papua melalui upaya kekerasan, teror, dan sebagainya, kali ini mereka juga gagal mempengaruhi dunia internasional untuk mengakui mereka sebagai negara. Mendukung kemerdekaan adalah hal yang sangat berbeda dengan mengakui kedaulatan Papua sebagai sebuah negara. Berjuang di front internasional memang bisa memenangkan opini publik internasional. Namun, dalam konteks kedaulatan sebuah negara, opini publik tidak bisa dijadikan ukuran. Paramater utamanya adalah hukum internasional yang diakui oleh komunitas internasional, termasuk PBB.