Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Bidang Ekonomi Internasional, Fithra Faisal Hastiadi, mengatakan, ketegangan geopolitik antara Iran dan Israel dalam jangka pendek akan mendongkrak harga minyak dunia. Ketika pasokan terganggu, sementara permintaan tetap, maka sesuai hukum ekonomi, harga barang akan langsung terkerek naik.
Ia menambahkan, harga minyak dunia diperkirakan akan segera masuk ke ekuilibrium atau titik keseimbangan baru di atas 90 dollar AS per barel bahkan bisa terus naik menembus 100 dollar AS per barel. Sebelum terjadi ketegangan ini saja, harga minyak sedang dalam tren naik.
”Dampaknya ke Indonesia, mungkin saja dalam waktu dekat kita akan mengalami kenaikan harga bahan bakar minyak,” ujar Fithra.
Kenaikan harga minyak, Fithra melanjutkan, secara teoretis akan segera direspons dunia usaha. Sebab, komponen energi merupakan bagian dari ongkos produksi.
etika ongkos energi naik, dunia usaha biasanya akan mengurangi ukuran produksi agar harga jualnya tetap. Namun, apabila tekanan ongkos tak tertahankan, dunia usaha mau tidak mau akan menaikkan harga jual produknya.
Kenaikan harga BBM, masih menurut Fithra, juga akan memicu inflasi secara langsung. Transmisinya adalah melalui kenaikan harga konsumsi masyarakat.
Depresiasi nilai tukar rupiah yang terus terjadi menambah komplikasi tantangan bagi perekonomian Indonesia. Pada perdagangan pasar, nilai tukar rupiah sudah menembus Rp 16.000 per dollar AS. Akibat depresiasi rupiah, impor BBM bisa ikut meningkatkan inflasi dari komponen impor atau imported inflation.
Selain mewaspadai dampak langsung kenaikan harga minyak, Fithra melanjutkan, Indonesia perlu mengantisipasi dampak kenaikan harga minyak ini terhadap perekonomian global. Hal ini bisa menular ke Indonesia dalam jangka menengah dan panjang.
Fithra menjelaskan, belajar dari ketegangan geopolitik Rusia melawan Ukraina yang terjadi tahun 2022, kenaikan harga minyak dunia ini bisa berdampak luas terhadap perekonomian global. Lonjakan harga minyak dunia akan mendongkrak inflasi dunia.
Dampaknya, bank sentral dunia akan berada dalam posisi untuk menaikkan suku bunga acuan. Situasi ini juga akan dihadapi bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed). Sementara, sebagaimana rencana awal, The Fed berencana menurunkan suku bunga acuan setelah Maret. Situasi ini akan memperpanjang ketidakpastian di pasar keuangan global.
Guna meredam inflasi, Fithra melanjutkan, The Fed bisa memperpanjang posisi suku bunga acuan saat ini. Dampaknya, bank sentral negara lainnya pun akan melakukan penyesuaian dengan sasaran menjaga selisih suku bunga agar tidak terlampau jauh dari suku bunga The Fed.
Sebab, kalau selisih suku bunganya terlalu lebar, bisa terjadi arus balik modal keluar. Situasi ini bisa mengguncang stabilitas nilai tukar negara tersebut.
Pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini bisa melambat dibandingkan dengan perkiraan awal karena dihambat kenaikan suku bunga acuan untuk mengendalikan inflasi yang dipicu kenaikan harga minyak. Jika perekonomian dunia melambat, kinerja ekspor pun bisa ikut melambat.
”Saya kira pemerintah perlu bergerak cepat merespons efek rambatan ini ke dalam negeri. Begitu juga Bank Indonesia yang perlu melaksanakan tugasnya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah,” ujar Fithra.