Ekonomi Indonesia menunjukkan perlambatan pada kuartal kedua tahun ini, disebabkan oleh naiknya ongkos produksi dan melemahnya permintaan domestik. Kondisi ini mencerminkan tekanan-tekanan yang dihadapi baik dari sisi global maupun domestik.
Sentimen geopolitik global turut mempengaruhi perekonomian Indonesia. Ketegangan antara Iran dan Israel sempat memuncak, yang memicu penguatan dolar AS dan sentimen negatif terhadap harga minyak. Meskipun ketegangan tersebut telah mereda, namun potensi kenaikan harga minyak hingga $100 per barel tetap ada. Jika ini terjadi, akan berdampak signifikan pada anggaran fiskal Indonesia, dengan potensi pelebaran defisit fiskal hingga Rp150 triliun untuk mempertahankan harga energi saat ini.
Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga pada kuartal kedua untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Langkah ini sedikit banyak berhasil, meskipun tekanan terhadap rupiah masih ada, terutama disebabkan oleh persepsi domestik terkait potensi pelebaran defisit fiskal di tahun 2025. Selain itu, cadangan devisa Indonesia yang berada di posisi $139 miliar mampu menjaga stabilitas nilai tukar tanpa perlu menaikkan suku bunga lebih lanjut pada bulan Juni.
Beberapa indikator ekonomi menunjukkan penurunan pada kuartal kedua. Purchasing Manager Index (PMI) untuk sektor manufaktur turun dari 52,1 menjadi 50,7, mengindikasikan tekanan pada ongkos produksi yang meningkat akibat nilai tukar yang tidak stabil. Selain itu, Consumer Confidence Index juga menunjukkan pelemahan setelah sempat naik di awal Ramadan, yang juga berdampak pada penurunan indeks retail dalam beberapa bulan terakhir.
Inflasi yang masih di bawah 3% memberikan keleluasaan bagi Bank Indonesia untuk tidak menaikkan suku bunga lebih lanjut. Namun, penurunan inflasi ini lebih disebabkan oleh melemahnya permintaan domestik. Hal ini menjadi indikator penting bahwa pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua kemungkinan tidak akan setinggi kuartal pertama.
Dengan berbagai tekanan yang ada, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua diprediksi mencapai sekitar 4,9%, sedikit lebih rendah dibandingkan kuartal pertama yang mencapai 5,11%. Meskipun demikian, angka ini masih cukup baik di tengah tekanan global yang ada.
Pasar modal Indonesia menunjukkan tanda-tanda stabilisasi dengan beberapa data positif. Personal Consumption Expenditure (PCE) di AS yang turun dari 2,7% menjadi 2,6% turut mengurangi sentimen negatif terhadap rupiah dan pasar obligasi. Pasar obligasi menunjukkan kecenderungan bullish, dengan yield yang mulai turun, memberikan potensi capital gain di masa mendatang.
Secara keseluruhan, meskipun pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua melambat, namun masih ada potensi resiliensi yang dapat dijaga melalui kebijakan ekonomi yang tepat. Sentimen global yang berkurang dan stabilisasi di pasar modal diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia ke depannya.