Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan mengatakan ekonomi global bisa rugi US$23 triliun hingga 2050 karena krisis iklim. Selain itu krisis iklim juga menyebabkan tiga juta kematian setiap tahunnya.
“Jadi saya pikir ini adalah bahaya yang akan kita hadapi dalam waktu dekat jika kita tidak melakukan aksi bersama,” kata Luhut dalam acara Indonesia Sustainability Forum di Jakarta, Kamis (7/9).
Luhut menyebut setiap negara memang memiliki kapasitas dan keterbatasan dalam melakukan dekarbonisasi. Namun krisis iklim merupakan masalah setiap negara yang harus diatasi dengan aksi bersama.
Ia menyebut, kegagalan satu negara dalam mengatasi krisis iklim akan menjadi kegagalan secara global.
Secara khusus, Luhut menyebut Indonesia memiliki peran penting dalam upaya dekarbonisasi global. Pasalnya Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat besar dengan 94 juta hektar hutan hujan tropis.
Selain itu, Indonesia juga memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar dengan daya lebih dari 3.600 gigawatt (GW).
“Indonesia mempunyai sumber daya mineral penting yang melimpah yang penting bagi kehidupan transisi energi; nikel, timah, bauksit, dan tembaga,” kata Luhut.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) Kristalina Georgieva mengatakan bencana alam bisa menyebabkan kerugian hingga US$100 miliar per tahun bagi ASEAN.
Kristalina menyebut negara ASEAN berada di garis depan terdampak perubahan iklim. Maka dari itu ia ingin kawasan Indo-Pasifik khususnya ASEAN betapa parahnya dampak perubahan iklim.
Ia mengatakan sejumlah negara Asean seperti Myanmar, Filipina, Vietnam, dan Indonesia masuk dalam daftar 10 negara yang paling terdampak perubahan iklim.
“Indonesia terkena dampak parah dari bencana alam kenaikan permukaan air laut. Dan kita tahu bahwa satwa liar, kebakaran hutan merupakan ancaman yang semakin dramatis saat suhu naik,” kata Kristalina.