Tahun politik diperkirakan tak terlalu berpengaruh terhadap inflasi Indonesia. Namun, tiap jelang pemilihan umum sejak beberapa periode terakhir, terjadi sejumlah fenomena yang tak menguntungkan Indonesia.
Menurut Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro, inflasi diperkirakan tak akan terlalu terpengaruh pada tahun politik. Konsumsi masyarakat masih relatif stabil.
”Konsumsi rata-rata masih relatif terjaga stabil pada 5 persen. (Bagian) yang turun adalah investasi,” ujar Asmoro dalam dialog dengan wartawan yang diadakan Bank Indonesia di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (9/9/2023).
Ia menilai, pergerakan inflasi cenderung melambat karena dalam satu tahun sebelum pemilu, kondisi ekonomi cenderung terdampak peristiwa global yang tak menguntungkan Indonesia. Hal ini terjadi dalam pemilu 2009 hingga 2024.
Saat Pemilu 2009, setahun sebelumnya dunia terdampak krisis ekonomi global yang pada mulanya terjadi di Amerika Serikat (AS). Saat itu, dampaknya mulai terasa pada semester II-2008 hingga semester I-2009.
Kemudian, jelang Pemilu 2014, terjadi taper tantrum pada 2013 ketika Bank Sentral AS atau The Fed akan mengurangi kebijakan moneter ekspansif beriringan meningkatnya perekonomian negara. Pada Pemilu 2019, perekonomian global juga dinilai tak stabil ditengarai perang dagang antara AS dan China. Akibatnya, harga komoditas saat itu turun.
Saat ini, pandemi Covid-19 masih menyisakan imbas bagi perekonomian global, termasuk Indonesia. Negara ini memiliki pekerjaan rumah agar tingkat inflasi terkendali.
”Jadi memang tantangannya, bagaimana membuat investasi tetap bisa tumbuh, tak turun dengan tajam seperti pola-pola yang kita temui pada pemilu-pemilu sebelumnya,” kata Asmoro.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengemukakan pernyataan serupa. Inflasi pada masa pemilu tetap ada, tetapi dampaknya relatif kecil.
Berkaca pada Pemilu 2014 dan 2019, terjadi anomali konsumsi rumah tangga sekitar 1-2 bulan sebelum pemungutan suara. Itu artinya, masyarakat banyak melakukan konsumsi pada masa kampanye, termasuk pembelian barang pokok.
”Itu kenapa? Itu terkait politik uang (money politic). Ada dampakdari pemberian uang oleh para kandidat (oknum), kemudian ’uang gelap’ dibelanjakan konstituen dan masyarakat yang mengakibatkan inflasi dari sisi permintaan,” tutur Bhima.
Walau demikian, inflasi yang terkerek cenderung rendah. Fluktuasi inflasi lebih disebabkan sisi pasokan, transportasi, dan distribusi yang memengaruhi.
Sebagai contoh, kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM). Sebelum pemilu, harga seluruh jenis BBM tak dinaikkan, maka inflasi dapat lebih terkendali. Selain itu, harga pangan meningkat berkontribusi terhadap kenaikan inflasi, terlepas apa pun situasi politiknya.
Kredit menurun
Pertumbuhan kredit masa pemilu, sejak 2009 hingga 2019 cenderung menurun. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, pertumbuhan kredit saat pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) pada Juli 2009 sebesar 14,7 persen dari bulan sebelumnya 16,3 persen. Tren serupa terjadi pada Pilpres 2014 yang jatuh pada Juli dengan pertumbuhan kredit 15,69 persen dari bulan sebelumnya 17,2 persen. Hal itu berlanjut pada Pilpres 2019. Pertumbuhan kredit April 2019 turun menjadi 11 persen, padahal bulan sebelumnya 11,6 persen.
Menurut Asmoro, penyusutan pertumbuhan kredit dilatarbelakangi para pengusaha yang memantau kondisi (wait and see) sebelum memutuskan berekspansi. Hal ini bisa diantisipasi dengan upaya akselerasi atau pemberian stimulus bagi sektor domestik.
Untuk kebutuhan ekspansi, misalnya, biaya modal (capital expenditure)ditingkatkan seiring dengan permintaan yang bertambah. Sektor itu kemudian didukung pemerintah dengan pemberian proyek guna mendukung keberlanjutan Kredit Modal Kerja (KMK).
”Kuncinya ada pada akselerasi government spending. Jadi (dilakukan) setahun sebelum dan setelah pemilu,” kata Asmoro.