Kebijakan Atasi Konflik Papua
Dalam 1 dekade terakhir, konflik yang terjadi di Papua terus mengalami eskalasi, seperti yang ditulis penulis didalam bukunya yang berjudul Kita Semua Mau Hidup Damai terbitan balai Pustaka tahun 2021, bahwa konflik yang terjadi di Papua bersumber dari 5 sumber konflik yaitu konflik hubungan, konflik struktural, konflik nilai, konflik data, dan konflik kepentingan.
Konflik yang terjadi selama ini memiliki cara penanganan yang berbeda, sebut saja penanganan konflik Papua akan berbeda setiap kali terjadi perubahan kepemimpinan di tingkat pusat dan daerah. Jika dilihat dalam 10 tahun terakhir, atau semenjak tahun 2013, ada beberapa perubahan yang terjadi dalam penanganan konflik Papua oleh negara, seperti pola pendekatan dilakukan TNI dalam membantu tugas kepolisian melakukan penindakan hukum kepada kelompok bersenjata.
Pada masa kepemimpinan Jenderal TNI Moeldoko, semenjak 30 agustus 2013 hingga 08 Juli 2015 atau sekitar 1 tahun dan 312 hari, konsep penanganan konflik di Papua adalah pendekatan persuasif teritorial tanpa mengabaikan keamanan dan kedaulatan negara di wilayah perbatasan. Selanjutnya, dalam masa kepemimpinan Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, selama 2 tahun dan 153 hari atau semenjak 08 Juli 2015 sampai dengan 08 Desember 2017, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan antropologi budaya serta soft power yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terdiri dari tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat.
Selanjutnya, Semenjak 08 Desember 2017 hingga 17 November 2021 atau sekitar 3 tahun dan 344 hari, pendekatan penyelesaian konflik yang dilakukan oleh TNI dalam kepemimpinan Marsekal TNI Hadi Tjahjanto adalah pendekatan Kesejahteraan kepada masyarakat, namun terjadi perubahan ketika kelompok bersenjata di Papua yang dilabel menjadi kelompok terorisme.
Dalam masa kepemimpin selanjutnya, Jenderal TNI Andika Perkasa semenjak 17 November 2021 hingga 19 Desember 2022 atau selama 1 tahun dan 32 hari, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan lunak dengan skema memenangkan pertempuran tanpa peperangan, pendekatan ini lebih memanfaatkan komunikasi menangani kasus di Papua.
Berikutnya, dalam kepemimpinan Laksamana TNI Yudo Margono selama 11 bulan dan 3 hari atau semenjak 19 Desember 2022 hingga 22 November 2023, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan humanis untuk menyelesaikan berbagai masalah di Papua, termasuk pengurangan pengiriman prajurit TNI ke Papua, namun dalam penanganan kelompok bersenjata tetap akan dilaksanakan secara tegas, apalagi jika eskalasi penyerangan kelompok bersenjata kepada masyarakat dan aparat terjadi peningkatan.
Akhir tahun 2023 terjadi perubahan kepemimpinan lagi dalam organisasi TNI, Panglima TNI saat ini adalah Jenderal TNI Agus Subiyanto. Pendekatan penyelesaian konflik Papua yang dicanangkan Jenderal TNI Agus Subiyanto adalah pendekatan Smart Power, yaitu pendekatan yang dikombinasikan antara pendekatan hard power, soft power, dan diplomasi. Menurut Jenderal TNI Agus Subiyanto, pendekatan ini dilakukan karena Papua punya karakteristik sendiri, dengan wilayah yang memiliki kearifan lokal dan tradisinya beragam. Kegiatan intelijen dan teritorial akan dikedepankan dengan tujuan membangun wilayah Papua seperti pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, puskesmas, hingga fasilitas umum.
Selain itu, pendekatan dalam bidang kesehatan juga akan dilakukan seperti prajurit TNI yang akan melaksanakan kegiatan vaksinasi hingga pencegahan stunting. Namun, pendekatan hard power juga tetap dilakukan untuk menghadapi kelompok bersenjata yang mengancam kedaulatan negara
Sementara dalam pendekatan kegiatan diplomasi, TNI juga mengedepankan politik diplomatik militer antar wilayah yang berbatasan langsung dengan Papua, dan juga membangun hubungan yang baik dengan negara tetangga. Diplomasi militer antar wilayah dilakukan dengan melakukan memorandum of understanding untuk latihan bersama, hingga pertukaran pelajar dengan negara-negara tetangga.
Namun, semenjak Januari hingga April 2024 terjadi eskalasi konflik di Papua yang cukup tinggi, hingga Panglima TNI dalam surat telegram nomor str/41/2024 pada tanggal 05 April 2024 merubah kembali nama kelompok bersenjata yang semula disebut Kelompok Kriminal Bersenjata 9 (KKB) atau Kelompok Separatis Teroris (KST) Papua menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM). Penyebutan tersebut mengikuti keinginan kelompok tersebut yang juga menyebutkan diri mereka sebagai Tantara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
Perubahan Nomenklatur penyebutan tersebut berdampak pada pola penanganan yang dilakukan negara terhadap kelompok bersenjata tersebut. Dapat dikatakan bahwa pola operasi bukan lagi penindakan hukum oleh Kepolisian karena kelompok bersenjata tersebut bukan lagi kelompok kriminal atau jaringan teroris tetapi TNI akan mengambil alih penuh operasi karena kelompok tersebut adalah organisasi Papua merdeka yang bertujuan mengganggu Kedaulatan Indonesia.
Kelompok Bersenjata dan Faktanya
Kelompok sipil bersenjata dikenal juga sebagai kelompok kriminal bersenjata yang kemudian di tahun 2021 lalu, dinaikkan statusnya sebagai kelompok teroris karena berbagai aksi penyerangan serta aksi teror yang dilakukannya memenuhi syarat disebut sebagai Kelompok Separatis Teroris.
Kelompok ini bertumbuh dan berkembang dengan sangat pesat, bahkan disetiap daerah di Papua sudah ada komandonya. Terbukti dengan berbagai tulisan dan video yang disebarkan melalui media sosial bahwa sudah terbentuk komando daerah.
Kelompok bersenjata ini juga telah menyampaikan pesan melalui media elektronik maupun video singkat untuk meminta TNI dan POLRI bersiap untuk berperang bersama mereka, sambil menunjukan kekuatan pertahanan mereka yaitu berbagai perlengkapan senjata modern.
Dengan menggunakan alat-alat pertahanan, kelompok bersenjata ini telah melakukan berbagai tindakan kekerasan. Pembunuhan karyawan perusahaan dengan jumlah besar, penyerangan pos TNI dan POLRI, menembak mati salah satu Jenderal TNI, menembak mati pendeta, menembak mati petugas kesehatan dan guru, memenggal kepala masyarakat sipil, melakukan tindakan pemerkosaan kepada petugas medis, menembak pesawat perintis, membakar infrastruktur pemerintahan, melakukan penyandraan, serta melakukan pembakaran kendaraan milik perusahaan, milik masyarakat sipil dan milik TNI dan POLRI.
Berbagai tindakan kekerasan dan aksi brutal telah dilakukan oleh kelompok bersenjata, yang pada akhirnya mendorong keputusan Panglima TNI melalui surat telegram str/41/2024 pada tanggal 05 April 2024 secara resmi menyatakan bahwa kelompok tersebut bukan lagi kelompok kriminal atau teroris tetapi Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan penangananya bukan lagi penanganan hukum tetapi operasi yang dilakukan adalah operasi militer.
Memahami Tupoksi TNI di Papua
Tentara Nasional Indonesia merupakan komponen utama dalam sistem pertahanan negara, dalam Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang tentara nasional Indonesia bagian ketiga pasal 7 menjelaskan bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Tugas TNI tersebut dilakukan dengan operasi militer dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Operasi militer berarti TNI menjalankan tugasnya untuk melakukan operasi militer dalam menghadang setiap ancaman terhadap kedaulatan dan keselamatan bangsa.
Sedangkan OMSP berarti TNI ditugaskan untuk mengatasi gerakan separatis bersenjata; mengatasi pemberontakan bersenjata; mengatasi aksi terorisme; mengamankan wilayah perbatasan; mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis; melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri; mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya; memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta.
Tentara Nasional Indonesia terbagi dalam 3 matra yaitu, Angakata Darat, Angakatan Laut, dan Angkatan Udara dengan memiliki Postur pertahanan yang didasarkan pada kemampuan, kekuatan, dan gelar yang dipersiapkan untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman bersenjata yang disesuaikan dengan kebijakan pertahanan negara.
Gelar kekuatan dilakukan diberbagai daerah di Indonesia, salah satunya adalah di Papua yang berada di timur Indonesia. Papua menjadi salah satu daerah yang disebut memiliki Ancaman Nyata. Salah satunya adalah keberadaan organisasi Papua merdeka yang menolak integrasi Papua bersama Indonesia.
Selama ini gelar pertahanan selalu dilakukan berdasarkan kondisi geografis Indonesia atau dalam kata lain ada arsitektur pertahanan militer yang disusun dalam postur pertahanan negara. Dalam dokumen postur pertahanan negara disiapkan dengan memperhatikan doktrin pertahanan negara dalam strategi pertahanan negara sesuai faktor geopolitik, geostrategi Indonesia dan karakteristik negara Indonesia.
Dalam gelar kekuatan yang dilakukan di Papua militer tentunya akan memperhatikan faktor geopolitik dan geostrategi Indonesia, sehingga penempatan Kodam, Batalyon, Kodim, Koramil, Pos pengamanan, serta satuan tugas dilakukan sesuai strategi pertahanan negara.
Demikian jika strategi pertahaan negara berubah setelah perubahan nomenklatur maka kuat dan gelar pertahanan disesuaikan dengan strategi terbaru, yang selama ini di Papua dilakukan adalah operasi militer selain perang karena TNI bertugas membantu Kepolisian namun saat ini Operasi Militer perang dapat dilakukan. Sesuai dengan pernyataan Panglima TNI “Senjata harus dilawan dengan Senjata”.
Kebijakan Operasi Militer
Melihat dinamika konflik Papua yang terus mengalami eskalasi sepanjang tahun dengan rentetan kejadian yang sudah dijelaskan fakta diatas, maka kebijakan pertahanan Indonesia harusnya tidak hanya bertahan dari awal tetapi melakukan pengejaran. Namun kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah pusat melalui beberapa Panglima TNI dalam 10 dekade terakhir adalah mengupayakan jalan damai dan tidak diperkenankan kepada pos atau satuan tugas TNI untuk melakukan Operasi atau pengejaran kepada kelompok bersenjata kecuali ada permintaan bantuan dari Kepolisian.
Jika kita kembali kepada tugas TNI sesuai dengan aturan, maka TNI ditugaskan untuk melakukan operasi militer dalam menghadang setiap Ancaman terhadap kedaulatan dan keselamatan bangsa, diantaranya mengatasi Gerakan separatis bersenjata dan pemberontakan bersenjata, maka TNI harus digerakan untuk menjaga kedaulatan bangsa dan keselamatan segenap masyarakat Indonesia.
Kenapa penulis menyebutkan bahwa TNI harus digerakan? Pertama, Karena kebijakan negara tidak lebih dari besar nyawa masyarakat yang terbuang sia-sia atas aksi kejahatan yang dilakukan kelompok bersenjata selama ini.
Kedua, kebijakan yang diambil pemerintah pusat dengan pendekatan damai sudah tepat dilakukan bagi masyarakat yang ingin hidup damai dengan sesamanya. Namun, bagi kelompok yang menentang kebijakan negara dengan cara kekerasan hingga membunuh tersebut tidak bisa ditolerir. Kenapa? karena ada banyak nyawa manusia yang dipertaruhkan untuk sebuah kebijakan damai. Contohnya, TNI tidak diperkenankan melakukan penyerangan sehingga ketika posnya diserang atau pada saat melakukan patroli kemudian diserang, banyak dari anggota TNI yang akhirnya gugur.
Dampak yang langsung di rasakan masyarakat selama ini karena aktivitas kelompok separatis bersenjata yaitu harus meninggalkan rumah dan mengungsi kehutan karena takut, tidak bisa aktif melakukan kegiatan sosialisasi, belajar-mengajar jadi tertunda, pemeriksaan kesehatan secara berkala kepada anak balita dan lansia tidak dapat dilaksanakan, kematian ibu dan anak meningkat, serta kasus lainnya seperti kelaparan atau busung lapar karena tidak ada aktivitas kesehatan dan perekonomian.
Ketiga, dengan melihat dinamika ancaman dalam negeri dari kelompok bersenjata yang terus mengalami eskalasi dan tindakan brutal yang terus dilakukan oleh kelompok ini, penulis meliihat kebijakan pertahanan Indonesia yang diambil alih oleh TNI sudah disesuaikan dengan kondisi geopolitik dan geostrategis. Dengan kata lain, penulis melihat arah pertahanan Indonesia di Papua masuk dalam pola Operasi Militer Perang dengan OPM.
Namun demikian, kebijakan tersebut kiranya sangat perlu memperhatikan yaitu konsep persiapan yang baik, pola operasi yang tepat, dan pola interaksi keberhasilan yang dibutuhkan. Penulis uraikan sebagai berikut:
Konsep Persiapan
Prajurit TNI harus dituntut memiliki kecerdasan sosial dan budaya, maka prajurit perlu memiliki kecerdasan emosi atau cara untuk memahami dan mengenali emosi bukan hanya pada diri sendiri tetapi juga memahami orang lain dan bagaimana menggunakan emosi tersebut. Artinya ketika mereka mampu memahami emosi orang lain maka hubungan mereka dengan orang tersebut dapat dibangun dengan lebih baik.
Sedangkan memiliki kecerdasan budaya adalah kemampuan berinteraksi dengan budaya lain dan memahami budaya tersebut, seperti halnya prajurit TNI satuan tugas yang datang dari berbagai latar belakang suku budaya yang berbeda (Jawa, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan) harus memahami budaya dan ciri kesukuan di Papua.
Untuk memberikan pedoman awal bagi prajurit yang hendak ditugaskan ke Papua. Pedoman awal yang dapat diberikan untuk meningkatkan kecerdasan emosional prajurit yaitu:
- Prajurit ditugaskan ke Papua melakukan penindakan kepada organisasi Papua Merdeka, namun bukan semua orang Papua adalah orang yang tergabung dalam organisasi Papua merdeka sehingga harus mengenal ciri kesukuan dan mengenal organisasi tersebut secara mendalam. Misi ke Papua bukan hanya mengkikis habis organisasi Papua merdeka tetapi juga misi membawa damai seperti cita-cita bangsa Indoesia ingin menciptakan perdamaian dunia
Hal ini sebagai fondasi awal prajurit memahami emosinya sendiri yang dikorelasikan dengan emosi pimpinannya yaitu yang menginginkan pendekatan soft kepada masyarakat Papua secara umum dan pendekatan hard kepada organisasi Papua merdeka.
- Untuk meningkatkan kecerdasan budaya maka perlu dilakukan Pre-Deperture Training (PDT) atau pengenalan budaya awal tentang keadaan budaya atau kebiasaan masyarakat Papua, medan lokasi yang difokuskan, penggunaan bahan kontak, serta budaya apa yang harus diajarkan kepada masyarakat Papua terutama di daerah konflik untuk memberikan rasa nyaman bagi masyarakat setempat dan prajurit yang ditugaskan.
Pemberian pedoman awal dan PDT ini dapat diterapkan bagi aparat teritorial (apter) yang akan dikirim maupun satuan tugas lainnya agar memiliki kecerdasan sosial yang tinggi. Hal ini menjadi penting dilakukan, karena culture shock tidak hanya terjadi ketika prajurit bertugas keluar negeri, tetapi ketika mereka hidup didaerah baru didalam negeri dengan budaya berbeda juga dapat menuntut terjadinya culture shock dan ini bahaya untuk kondisi psikologis prajurit.
Pelaksanaan PDT ini dapat dilakukan selama 3-6 bulan sebelum pengiriman apter atau satgas agar pasukan lebih siap secara psikologis dan mengetahui daerah yang menjadi tujuan operasi.
- Latihan tempur menghadapi ancaman kontak senjata ringan dan berat harus dipersiapan secara total untuk mempersiapkan prajurit melaksanakan hard power karena tantangan dan rintangan di medan tugas yang berat sehingga satgas harus memiliki kemampuan dan taktik tempur mumpuni.
Latihan harus dilakukan di medan yang sama dengan lokasi operasi di Papua, agar pada saat operasi dilakukan prajurit terbiasa dengan situasi dan kondisi yang ada.
Selain itu, apter dan satgas yang ditugaskan didaerah perkotaan seperti Jayapura, Merauke, Wamena, Nabire, Manokwari, dan Sorong harus memiliki kemampuan intelektual mumpuni untuk membaca dan melakukan counter strategy terhadap kelompok think tank organisasi Papua Merdeka. Sama halnya bagi apter dan satgas yang ditugaskan didaerah perbatasan negara harus melakukan kegiatan diplomasi dengar warga sekitar daerah perbatasan.
Pola Operasi
Melihat situasi dan kondisi Papua serta tidak semua orang Papua terlibat dalam organisasi Papua merdeka melainkan hanya sekelompok orang yang mengikuti kelompok bersenjata tersebut Maka operasi yang dilakukan adalah Operasi Militer yang dilakukan secara khusus didaerah tertentu dengan memperhatikan keselamatan segenap rakyat Indonesia.
Dalam kebijakan pertahanan bisa kita sebutkan Gelar Kekuatan Pertahanan Operasi Militer Parsial. Pola operasi ini disarankan kepada TNI agar tidak semua daerah di Papua dilakukan operasi militer, ada 9 komando daerah organisasi Papua Merdeka yang saat ini aktif melakukan penyerangan kepada masyarakat, 9 daerah tersebut dapat menjadi daerah operasi militer, dengan pola yang diterapkan :
- Pola operasi militer dilakukan dengan mengosongkan wilayah operasi dari masyarakat sipil.
- Operasi dilakukan dalam jangka waktu tertentu.
- Operasi dilakukan dengan memperhatikan pola operasi proporsionalitas, kehati-hatian, dan praduga untuk menjauhkan TNI dari dugaan pelanggaran HAM kepada masyarakat sipil.
Pola operasi porposionalitas artinya serangan tidak dilakukan secara berlebihan yang dapat menyebabkan secara insidental hilangnya nyawa warga sipil, korban luka warga sipil, kerusakan objek warga sipil, atau kombinasi semuanya. Sebaliknya, operasi hanya relevan ketika serangan diarahkan terhadap sasaran yang sah secara konstitusional yaitu aktivitas OPM.
Kehati-hatian, sebelum serangan dilakukan, prinsip kehati-hatian bagi pengambil kebijakan yang merencanakan dan memutuskan serangan harus ada upaya yang ditempuh guna memastikan bahwa sasaran yang dipilih merupakan sasaran militer. Dalam hal ini, sasaran benar-benar adalah anggota organisasi Papua merdeka dan atau markas komando daerahnya.
Jika ada orang atau tempat yang tidak dapat dibuktikan bahwa merupakan bagian dari kelompok bersenjata atau markas komandonya maka dapat diasumsikan sebagai warga sipil atau tempat masyarakat sipil. Selain itu, perencana atau pengambil keputusan juga harus menilai apakah serangan yang dilakukan dadakan menyebabkan kerugian insidental kepada warga sipil yang berlebihan atau tidak. Jika demikian maka perlu direncanakan kembali.
Langkah kehati-hatian selama serangan juga harus diperhatikan, apabila serangan tersebut dilakukan dan ternyata target tersebut adalah keliru dan tidak sesuai dengan target operasi makan operasi harus dibatalkan atau ditangguhkan. Demikian juga kehatian-kehatian terhadap dampak dari serangan yang merugikan masyarakat sipil.
Pola operasi layak ditempuh jika faktor-faktor pendukung terpenuhi seperti informasi intelijen yang tersedia, tingkat kendali teritorial, ketepatan senjata yang ada, biaya, serta resiko yang didapatkan. Pada akhirnya komandan operasi dilapangan akan dituntut untuk memberikan assessment pribadi atas informasi yang tersedia pada saat operasi dilakukan.
Beberapa larangan yang harus diperhatikan adalah larangan serangan langsung terhadap warga sipil dan objek sipil, benda cagar budaya, dan intalasi yang mengandung kekuatan berbahaya, larangan serangan tanpa pandang bulu, larangan penggunaan warga sipil sebagai perisai manusia, larangan tindakan atau ancaman kekerasan dengan tujuan menyebabkan teror dikalangan masyarakat sipil, larangan metode operasi yang menyebabkan kerusakan meluas dalam jangka waktu panjang, larangan menyebabkan kelaparan warga sipil sebagai metode peperangan.
Pola operasi yang dilakukan juga harus memperhatikan orang sipil yang ada dalam penguasaan kelompok OPM, anggota OPM yang sudah menyerah atau tidak mampu lagi membela diri, memberikan ruangan kepada pihak OPM yang mau menyerah, penggunaan alat peperangan seperti tidak menggunakan senjata pemusnah masal, penggunaan racun, pecahan yang tidak terdeteksi.
Selanjutnya, kebijakan operasi harus dinilai, biasanya sebuah kebijakan akan diberikan waktu pemberlakuannya dan kemudian dikalibrasi lagi, apakah kebijakan tersebut masih efektif untuk dijalankan atau kebijakan tersebut sudah berada diluar dari keinginan pemerintah pada saat awal penerapan pola tersebut. Segala bentuk operasi yang dilakukan harus dicatatkan dan dilaporkan kepada atasan perkembangannya setiap hari,
Pola Interaksi Keberhasilan
Pola interaksi menjadi kunci menuju keberhasilan dalam operasi, beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pola interaksi adalah mengetahui budaya dan kebiasaan warga setempat. Untuk mengetahuinya maka lembaga yang pertama kali harus dirangkul adalah gereja melalui pendeta. Mayoritas masyarakat Papua beragama Kristen sehingga masyarakat Papua selalu taat dengan mendengar pernyataan pendetanya.
Selanjutnya adalah tokoh adat yaitu kepala suku besar (didaerah pegunungan) dan ondoafi (didaerah pesisir pantai). Tokoh adat harus diajak komunikasi secara berkala, kemudian tokoh perempuan, dan tokoh pemuda juga dapat dirangkul.
Selain itu, interaksi juga harus dibangun bersama pimpinan daerah yaitu Bupati dan organ perangkat daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta Majelis Rakyat Papua.
Jika pola interaksi dibangun dengan baik, maka akan berdampak pula pada keberhasilan operasi yang dilakukan, serta dengan mudah akan mengetahui medan operasi yang akan ditempuh.
Dengan output yang diharapkan dari pendekatan militer saat ini adalah tanah Papua bebas dari kelompok bersenjata dan menjadi tanah Papua yang damai, sejahterah, adil, makmur, serta Papua tetap menjadi bagian dari wilayah kedaulatan NKRI.
Penutup
Pada akhirnya Kompas kebijakan pertahanan Indonesia harus disesuaikan dengan dinamika ancaman dalam dan luar negeri sesuai dengan geopolitik dan geostrategis Indonesia sehingga penanganan aksi kelompok bersenjata di Papua, harus ada formula yang bijaksana yang diambil.
Semua pendekatan yang diberikan oleh setiap Panglima TNI dalam 1 dekade terakhir atau semenjak 2013 hingga saat ini adalah sudah sangat baik, karena disesuaikan dengan pola perkembangan ancaman dan eskalasi konflik yang ada.
Pola pendekatan smart power yang dicanangkan oleh Panglima TNI Agus Subiyanto yang kemudiaan diikuti oleh perubahan nomenklatur nama KKB/KST menjadi OPM menjadi langah strategis yang arif dan bijakasana menumpas organisasi tersebut berkembang, yang selama ini melakukan tindakan kejahatan kepada masyarakat sipil.
Namun, didalam pola operasi militer yang digunakan ini, seyogyanya operasi militer dilakukan secara parsial atau terfokus di kantong-kantor kelompok OPM, karena tidak pas dilakukan diseluruh tanah Papua. TNI juga diharapkan memperhatikan konsep persiapan yang sesuai, pola operasi yang tepat, dan pola interaksi keberhasilan yang terus ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian operasi dalam kerangka koridor menjaga kedaulatan negara sehingga dapat berjalan dengan baik dan tidak Mewariskan masalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
*) Steve Rick Elson Mara, S.H., M.Han (Analis Kebijakan Muda Indonesia)
Daftar Pustaka
Mara, Steve. 2021, Kita Semua Mau Hidup Damai, Balai Pustaka, Jakarta.
Melzer, Nils, 2019, Hukum Humaniter Internasional (sebuah pengantar komprehensif) ICRC, Jakarta.
Kbr.id. 2015, TNI Ubah Pendekatan Militer, Khusnul Khotimah, https://kbr.id/nasional/05-2015/tni_ubah_pendekatan_militer_di_papua/70803.html.
Puspen TNI. 2016, Panglima TNI : Atasi konflik sosial dengan kekompakan dan pendekatan antropologi budaya, https://tni.mil.id/view-92981-panglima-tni-atasi-konflik-sosial-dengan-kekompakan-dan-pendekatan-antropologi-budaya.html.
CNN Indonesia. 2021, DPR Sebut andika perkasa enggan pakai pendekatan perang di Papua https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211106191913-32-717592/dpr-sebut-andika-perkasa-enggan-pakai-pendekatan-perang-di-papua.
Voa Indonesia. 2022, Resmi dilantik, penglima TNI baru janjikan pendekatan humanis di Papua. https://www.voaindonesia.com/a/resmi-dilantik-panglima-tni-baru-janjikan-pendekatan-humanis-di-papua-/6882291.html.
Antara News. 2023, Panglima TNI canangkan pendekatan Smart Power di Tanah Papua : https://www.antaranews.com/berita/3835248/panglima-tni-canangkan-pendekatan-smart-power-di-tanah-papua.
CNN Indonesia, 2024, TNI Beber alasan ganti penyebutan KKB Papua menjadi OPM https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240411072547-20-1085156/tni-beber-alasan-ganti-penyebutan-kkb-papua-kembali-opm. Perpustakaan Lemhanas RI, Smart Power adalah kekuasaan berbasis pada kemahiran, page 16, http://lib.lemhannas.go.id/public/media/catalog/0010-121500000010581/swf/4937/files/basic-html/page16.html#:~:text=Smart%20power%20adalah%20kekuasaan%20(power,kapasitas%2C%20dan%20proyeksi%20kekuasaan%20dan